Tahukah Anda bila tisu bukan hanya berfungsi untuk membersihkan? Terbukti, di tangan terampil tiga ibu rumah tangga yaitu Adhika, Mia, dan Siana, lap yang mirip kertas ini dapat berubah menjadi aneka pernak-pernik cantik pengisi rumah sekaligus menambah pundi-pundi keuangan, seperti tempat tisu, tempat kartu nama atau memo, nampan, tempat sampah kering, tempat pensil, talenan, dan sebagainya. Tetapi, tisu yang digunakan bukan sembarang tisu melainkan tisu buatan Jerman, demikian pula dengan teknik pembuatannya.
“Teknik pembuatan hasta karya dengan media utama tisu ini berasal dari Jerman yaitu servietten. Sedangkan, tisu yang digunakan memang produk Jerman, karena tisu ini bermotif, misalnya bunga, binatang, kartun, dan lain-lain. Sayangnya, di Indonesia tisu semacam ini tidak ada, padahal yang ingin kami tonjolkan adalah motif-motifnya, sehingga otomatis kami menggunakan tisu buatan Jerman ini.
Sebenarnya, tisu semacam ini juga diproduksi oleh Amerika Serikat (AS), Australia, dan Jepang, namun yang buatan Jerman memberikan hasil yang lebih bagus, mudah menyatu dengan media yang ditempelinya sehingga tampak mirip dengan sablon atau lukisan, relatif tahan air, dan mudah dibersihkan yaitu cukup dilap dengan kain basah, serta memiliki motif yang lebih beragam. Hal ini juga didukung oleh lem buatan Belanda seharga Rp85 ribu/botol dan pernis produk AS seharga Rp300 ribu/kaleng, yang kami gunakan,” kata Mia, mewakili rekan-rekannya.
Tisu berukuran 33 cm x 33 cm yang mirip kertas kado tetapi jauh lebih tipis ini, terbagi menjadi tiga lapisan. “Yang bermotif terletak di lapisan atas, sehingga hanya bagian itu yang kami ambil. Dua lapisan di bawahnya yang kebetulan polos, kami kembalikan ke fungsi dasarnya. Sedangkan benda yang ditempeli terbuat dari kayu MDV (sejenis kayu lokal mirip tripleks, red.) yang bentuknya kami desain sendiri,” lanjutnya.
Hasilnya berupa 50 item pernak-pernik rumah tangga yang dilabeli Tangan dan ditawarkan dengan harga Rp65 ribu sampai lebih dari Rp200 ribu. Bila konsumen berminat membeli atau memesan, dapat datang ke markas mereka di Jalan Yado, Radio Dalam, Jakarta Selatan, mengunjungi bazar yang diadakan oleh Yayasan Aussi (yayasan yang membawahi sekolah-sekolah Katholik perempuan, red.), atau Rebo-an di Citos (Cilandak Town Square).
Sayang, mereka tidak selalu dapat mengikuti bazar-bazar tersebut sebab belum mampu berproduksi masal. “Kami belum memiliki karyawan, sehingga bila harus menerima pesanan dalam jumlah banyak, kami cukup mengkaryakan anggota keluarga kami sendiri. Di samping itu, kami merasa bahwa ini adalah karya seni buatan tangan yang mementingkan kepuasan batin, sehingga kalau harus berproduksi masal, semuanya itu akan menghilang. Saat ini, kami masih dalam taraf ingin berkreasi dan memamerkan kreasi kami,” kilahnya.
Tetapi, tidak berarti mereka tidak ingin memiliki toko sendiri atau menitipkan produk mereka yang telah merambah seluruh Jakarta, Yogyakarta, dan Malaysia (buyer, red.) ke pihak-pihak lain. “Untuk sementara, kami ingin lebih aktif lagi mengikuti Rebo-an, sebab di sini hasil penjualan kami meningkat dua kali lipat,” imbuhnya.
Kendala lain yang muncul yaitu tisu seharga paling mahal 5 Euro/pak (1 Euro = Rp11.800,-, red.) ini mengalami perubahan motif yang sangat cepat. “Sehingga, kami harus memesan terlebih dulu dan itu butuh waktu relatif lama. Bila pelanggan ingin memesan dengan motif tertentu, mau nggak mau harus menunggu dulu apakah pesanan yang dimaksud masih tersedia atau tidak,” ujarnya. Sekadar informasi, Tangan dibuat dengan menggunakan tisu seharga 3,95 Euro/pak hingga 4,3 Euro/pak dan hanya memerlukan satu pak (1 pak = 20 lembar, red.).
Untuk mengatasi kendala ini, jauh-jauh hari pelanggan harus sudah memesan, sehingga mereka pun bisa mengecek ketersediaan tisu di negara asalnya. Selain itu, hasta karya ini juga sangat tergantung pada sinar matahari. Sebab, sinar sang surya ini mampu membuat produk ini benar-benar kering dan meninggalkan hasil tempelan yang bagus.
Tangan dibangun dengan modal Rp 6 juta. Pada musim panen “bisnis” yang dimulai secara iseng pada tahun 2003 dan diseriusi setahun kemudian ini, mampu meraup onmset minimal Rp2 juta/bulan, sedangkan pada musim paceklik hanya Rp500 ribu/bulan. Omset ini diluar pesanan di mana dalam sebulan mereka menerima pesanan dari lima pelanggan yang masing-masing memesan minimal dua atau tiga produk seharga minimal Rp125 ribu. “Tapi, pada perayaan keagamaan, kami bisa mendapat pesanan hingga 50 produk,” Siana, menambahkan.
Apa sih istimewanya Tangan? “Kami tahu bahwa selain Tangan, ada beberapa pelaku bisnis sejenis. Kami juga mengenal mereka kok. Kami menyikapi keberadaan mereka dengan terus maju selangkah ke depan. Kami tidak bilang bahwa produk kami lebih bagus daripada hasil karya mereka. Tapi, setelah melihat produk mereka, kami berusaha membuat produk kami lebih baik dan lebih rapi daripada buatan mereka, mengkombinasikan warna cat, mengkombinasikan tisu yang satu dengan yang lain, serta menyelaraskan antara tisu dengan warna cat, sehingga nilai jual Tangan pun lebih bagus,” ucapnya.
Di samping secara teratur berproduksi, mereka juga membagi keterampilan ini kepada siapa saja yang berminat dengan tarif Rp 430 ribu untuk dua kali pertemuan, masing-masing selama 2,5 jam dan dijamin segera mahir. “Mereka mendapat tisu dan segala peralatan untuk membuat hasta karya secara gratis. Karya mereka juga boleh dibawa pulang,” katanya. Selain itu, tisu ini juga dijual secara terpisah dengan harga Rp15 ribu/pak (1 pak = 4 lembar). Tertarik? [pengusaha/russanti lubis]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar