Drop out kuliah lantaran terpikat bekerja, keluar, lalu mendirikan usaha sendiri. Kini, berkat pengalaman dan ketekunannya, Asep.begitu panggilannya.telah menjadi netpreneur pada usia yang relatif muda. Pesaingnya pun kelas dunia.
Ingin Mendirikan Surabaya Camp
Sukses kadang tak selalu ditentukan dari awal. Ini pula yang dialami seorang pria drop out kuliah bernama Hilman Budiyadi, general manager dan sekaligus pendiri PT Primatama Quantumjaya, perusahaan konsultan teknologi informasi (TI). Menurut Hilman, yang akrab dipanggil Asep, setelah hampir lima tahun mengembangkan usaha, ia baru tahu bahwa Michael S. Dell, pendiri Dell Computer, ternyata juga seorang drop out. Ia pun ingin meniru jejak Dell. 'Akan tetapi memang tidak mudah untuk bisa menjadi seperti dia,' tuturnya.
Asep hanya setahun menjadi mahasiswa Politeknik ITB. Ia sempat bekerja di beberapa perusahaan, sebelum akhirnya mendirikan usaha sendiri. Kini kliennya adalah berbagai perusahaan kelas internasional. Bahkan kini Asep siap bertanding dengan pemain asing dalam tender berbagai proyek. Untuk menopang pekerjaannya, Asep membuka kantor di kawasan Jemur, Surabaya. Karyawannya para sarjana. Lalu untuk 2003, pada bulan Januari, Asep sudah mengantongi sejumlah proyek senilai Rp1,7 miliar. Itu terjadi sepuluh tahun kemudian, sejak ia mendirikan usaha sendiri.
Sempat Jadi Karyawan
Asep memulai usahanya dari sebuah ruang berukuran 2 x 6 meter persegi di rumah milik `mantan` pacar, yang kini menjadi istrinya, Maya Damayantie. Asep mengaku, ide bisnisnya muncul dari keinginan untuk bebas dari segala aturan yang mengikatnya jika ia bekerja di suatu perusahaan. Sebelumnya, Asep memang pernah bekerja di BCA dan sebuah perusahaan asing yang bergerak di bidang TI. Tuturnya, 'Saat kuliah di ITB jurusan teknik komputer tahun 1991, saya mendengar bahwa BCA di Sidoarjo membutuhkan seorang staf EDP. Saya pun kembali ke Surabaya, melamar untuk posisi tersebut. Ternyata saya diterima. Maka, saya pun mengundurkan diri dari kuliah.'
Di bank tersebut, Asep banyak menghabiskan waktunya untuk mengikuti berbagai macam pelatihan dan pendidikan. 'Kurang lebih sepertiga dari waktu saya selama bekerja di BCA Sidoarjo dihabiskan untuk training,' ujarnya. Pada tahun kedua Asep bekerja, terjadi rotasi karyawan yang membuatnya gerah. Maka, Asep pun memutuskan untuk keluar dari BCA.
Hanya sebulan Asep menganggur. Melalui informasi dari temannya semasa kuliah, Asep mendengar ada perusahaan asal Jepang yang membutuhkan programer. Perusahaan yang bernama PT Indonusa sedang membuka cabang baru di Surabaya. Asep melamar, dan diterima.
Di perusahaan itu kinerja Asep terbilang bagus. Maka tak heran kalau Asep bisa menjadi orang nomor dua di perusahaan tersebut, setelah atasannya, Yoshio Ito. Sayangnya, Indonusa melihat bahwa secara bisnis pasar di Jawa Timur tidak memadai. Maka, satu setengah tahun kemudian, perusahaan itu menutup usahanya. Pil pahit harus ditelan Asep. Ia kembali menjadi pengangguran.
Namun, pengalaman bekerja di Indonusa membuat naluri wirausaha Asep bangkit. 'Mulai saat itu, saya memberanikan diri tidak melamar pekerjaan baru dan akan menjalankan usaha sendiri di bidang software. Saya yakin pangsanya bisa sangat luas, walaupun kondisi pasar saat itu belum matang,' tutur putra pertama dari enam bersaudara ini.
Bermodal Notebook
Keinginan itu ia wujudkan dengan mendirikan perusahaan PT Primatama Quantumjaya. Perusahaan itu berkantor di sebuah ruangan eks kamar pembantu di rumah calon mertuanya. Kala itu ia hanya ditemani seorang office boy. 'Saat itu modal awal saya adalah sebuah sepeda motor, yang saya miliki selama saya bekerja di BCA dan Indonusa,' tutur penggemar biliar ini. Oleh karena alat utama seorang programer adalah sebuah PC atau notebook, maka sepeda motor itu pun ia jual dan dibelikan sebuah Notebook 486.
Usaha gigih Asep mulai menunjukkan hasil. Perlahan-lahan satu per satu klien ia dapatkan. 'Saya menggunakan strategi pemasaran dari mulut ke mulut,' katanya. Asep mengaku pasar yang dibidik adalah bidang manufaktur. Ini sesuai dengan pengalamannya semasa bekerja di Indonusa. Akan tetapi, dalam perjalanannya, pasar bisnis Asep melebar hingga ke kalangan universitas, perusahaan konsultan, kantor-kantor pemerintahan, koperasi, dan berbagai bidang usaha lainnya. Asep mengkhususkan pasarnya pada customized software. Bagi Asep, pola seperti ini justru yang lebih efektif dan tepat sasaran, khususnya untuk pasar Jawa Timur yang relatif masih awam dengan dunia TI. 'Kerja kami ibarat tukang jahit. Jadi, disesuaikan dengan permintaan klien,' jelasnya.
Strategi pemasaran ini bukan tanpa perhitungan. Menurut dia, merujuk pada sebuah riset, hampir 75% investasi TI gagal karena semua produknya dianggap siap pakai, termasuk produk dari vendor kelas dunia sekalipun. Padahal dalam prakteknya tidak demikian. 'Perlu persiapan yang cukup matang dari sisi internal calon pemakai,' papar Asep.
Sekian waktu berjalan, ternyata Asep kewalahan juga melayani pasar Jawa Timur. Penyebabnya, tak banyak perusahaan yang seperti dia. Menurut Asep, di pasar Jawa Timur, tingkat persaingan untuk ready-made software sebenarnya sudah mulai ramai. Namun, kebanyakan dari mereka bisa dibilang underground, yakni dikerjakan oleh kalangan mahasiswa, pebisnis yang free lance, atau lembaga yang susah untuk dideteksi. Situasi semacam itu menyebabkan Asep merasa cukup berjaya. Asep mengaku, untuk pasar Jawa Timur, kini perusahaannya tidak bisa dipandang sebelah mata.
Setelah merasa cukup matang, pada 2000, Asep merasa sudah saatnya merambah ke luar Jawa Timur. Gayung pun bersambut. Sejumlah perusahaan ternyata berminat terhadap solusi yang ia tawarkan. Padahal, di luar Jawa Timur, Asep harus bersaing dengan pemain asing yang reputasinya cukup dikenal.
Berkompetisi dengan Asing
Salah satu pengalaman yang cukup membuat Asep percaya diri adalah ketika mendapatkan klien PT Kelian Equatorial Mining (KEM), di Kalimantan Timur. Di perusahaan yang termasuk Grup Rio Tinto ini, Asep berhasil menggeser peran konsultan asing dari Australia. 'Sebelumnya pembuatan software yang sifatnya taylor-made itu selalu diberikan kepada perusahaan atau perorangan di Australia dan AS, dengan tarif jasa per orang per hari bisa US$1.000. Bahkan untuk konsultan dari AS bisa mencapai US$2.000,' tutur Adhi Prasiddha Yoedo, salah seorang staf Asep yang memimpin proyek di KEM tersebut.
Saat pertama kali masuk ke KEM, menurut Adhi, memang tidak mudah. Sebagai uji coba, Asep dan timnya diberi pekerjaan yang cukup sulit. Papar Asep, 'Kami diminta membongkar sebuah software pertambangan, Modular Mining System buatan perusahaan software dari Arizona, AS, yang berfungsi untuk melakukan tracking via GPS. Melalui software ini bisa dilacak berapa kendaraan berat yang ada di tambang terbuka, berapa ton batuan yang diangkut, berapa sisa oli, solar, minyak yang ada di kendaraan tersebut, dan sebagainya. Ini mirip sistem telemetri pada mobil F-1, di mana setiap detik informasi tentang keadaan mobil dikirimkan ke sebuah pusat data.'
Pihak KEM menilai Asep dan timnya lolos ujian. 'Kualitas hasil kerja kami dianggap setara dengan konsultan asing sebelumnya, tetapi biayanya sangat murah. Tarif per orang per hari kami hanya Rp1 juta, yang jika dikurs hanya US$110-an,' ungkap Asep. Padahal, lanjut dia, biaya ini adalah yang terbesar yang pernah diajukannya. Asep mengaku bahwa penerimaan terbesar tahun 2002 datang dari KEM.
Pengalaman dengan KEM membuat dirinya makin yakin menghadapi AFTA. Menurut Asep, sepandai-pandainya perusahaan asing yang akan masuk ke Indonesia, mereka pasti membutuhkan mitra lokal. 'SAP, Oracle, Microsoft, Lotus, dan yang lainnya selalu membutuhkan mitra lokal untuk menangani pasarnya. Apalagi produk kami murni customized. Kami datang ke klien tidak dengan software yang sudah jadi, tetapi dengan bekal pengalaman. Jadi, kami dengarkan apa maunya klien,' jelas pria kelahiran Garut, 32 tahun yang silam itu.
Asep bertutur, pernah ada kliennya yang menggunakan empat modul perangkat lunak buatan asing seharga Rp20 miliar. Namun, selama dua tahun mencoba, hasilnya ternyata tidak maksimal. Lantaran kecewa dengan produk asing tersebut, mereka pun memutuskan untuk mencoba produk buatan Asep yang harganya cuma Rp60 juta. Ternyata ini malah berhasil.
Pengalaman tersebut membuat Asep makin yakin bahwa dirinya siap bersaing dengan berbagai pihak, termasuk pemain asing. Asep pun cukup puas dengan kinerjanya selama ini. Hal itu setidaknya bisa dilihat dari penawaran berbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta. 'Kalau dulu kami yang menjemput bola, kini mereka datang ke kami,' ujar pria yang mengaku belajar berdagang dari sang nenek ini. Nilai proyeknya kini mulai dari Rp30 juta sampai Rp250 juta, dengan lama kerja 3-12 bulan. 'Padahal ketika pertama kali mendapat proyek, nilainya cuma Rp750.000. Itu pun dikerjakan selama tiga bulan,' kenangnya.
Ingin seperti Sigma
Meski drop out kuliah, Asep terus menimba ilmu melalui berbagai cara. Ia belajar dari sang istri yang bekerja sebagai konsultan psikologi dan sedang menempuh program magister di Universitas Airlangga, Surabaya. Di samping itu, Asep juga menggali ilmu dari berbagai bahan bacaan. Cara seperti ini pun ia terapkan pada 18 karyawannya. 'Bagi saya, karyawan adalah investasi,' tutur pria yang mengaku tak pernah memecat karyawan ini.
Lewat investasi itulah Asep yakin akan memperoleh sumber daya yang makin berkualitas dan lebih bisa bersaing di bisnis tersebut. Dalam bayangan Asep, selama 10-20 tahun ke depan, ia bakal membesarkan bisnisnya menjadi sekelas PT Sigma Cipta Caraka dengan Bali Camp-nya. 'Saya ingin ada Surabaya Camp,' cetusnya. Asep mengaku, ia menjadikan Toto Sugiri, pendiri Bali Camp, sebagai tokoh idola. 'Saya senang gayanya,' ucap dia.
Visi
Menjadi salah satu perusahaan taylormade software yang diperhitungkan secara nasional dan internasional, dengan memberikan perangkat lunak yang fit, on time and on cost, free error, dan free misperception.
Misi
Berkomitmen untuk selalu meng-update teknologi terbaru
Bersama-sama klien mewujudkan cita-citanya dengan motto: take it and profit
Akan selalu menjaga dan memelihara kompetensi di bidang software engineering serta transisi teknologi dalam jangka panjang.
Filosofi
Every body must be happy. Maksudnya, dalam proses kerja, semua pihak, baik klien ampun karyawan, harus bahagia
Tantangan
Persaingan global dalam bisnis TI seiring berlakunya AFTA 2003. Perusahaan dengan image dan modal kuat merupakan ancaman yang cukup berat.
State of the art technology. Menghadapi tuntutan pasar, maka update pengetahuan secara terus menerus adalah suatu keharusan dalam bidang yang sangat bergantung pada perkembangan teknologi yang luar biasa.
Kematangan pasar sebagai ladang bisnis yang relatif baru.
Strategi
Terus menerus meng-update pengetahuan melalui buku, internet, yang dilakukan di kantor pada waktu senggang, serta presentasi rutin yang diberikan oleh karyawan sendiri secara bergantian.
Memberikan value added adalah suatu keharusan. Dalam penawaran dan tiap presentasi, selalu mencoba menawarkan perangkat lunak yang murah (tren perangkat lunak yang open source), legal (selalu menggunakan perangkat lunak yang legal dalam men-develop dan menawarkannya kepada klien), serta andal (memberikan sistem solusi yang dapat diandalkan dalam kurun waktu yang panjang).
Inovasi berkelanjutan dalam produk, pemasaran, serta pemberian harga.
Produk
Contract Software Development. Pembuatan perangkat lunak yang disesuaikan dengan spsifikasi sistem yang dikehendaki klien.
Outsourcing Software Development. Pembuatan perangkat lunak yang dilaksanakan bersama-sama dengan klien.
Outplacement Software Development. Pembuatan perangkat lunak yang dilaksanakan oleh tim dari PT Primatama Quantumjaya dan dengan menempatkan mereka di tempat klien untuk jangka waktu tertentu.
sumber:wartaekonomi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar