Awal Januari 2008, tahu dan tempe menjadi pembicaraan public. Kali ini bukan kisah orang keracunan tahu atau ada bakso tahu yang berformalin. Tapi soal harga kedelai yang naik tajam. Praktis, harga tahu dan tempe ikut naik. Bahkan makanan murah kaya protein milik orang miskin ini sempat hilang dari peredaran.
Melambungnya harga kedelai disebabkan kenaikan pasokan kedelai impor dari Amerika dan Brazil. Belum lagi ada importir nakal yang menumpuk bahan baku. Menurut Wiji, pengusaha tahu tempe di Jl Pedungan gang Melati no 20, Denpasar, produsen memang menggantungkan usahanya dari kedelai impor. Untuk kota Denpasar, mereka membeli dari koperasi Multi Makmur di jl Kebo Iwa. Para pengusaha itu bukannya tidak mau menggunakan bahan lokal. Namun disinyalir kedelai lokal memiliki kualitas yang tidak baik dan sulit dicari karena tergantung musim. “Kedelai lokal adanya musiman dan hasilnya juga tidak bagus,” ungkap Wiji.
Terhitung 11 Januari 2008 harga kedelai mencapai Rp 7600/kg. Dua minggu sebelumnya 7400/kg. Harga tersebut mulai merangkak naik pasca lebaran tahun lalu. Sedangkan normalnya berkisar Rp 4000/kg. Kenaikan tersebut memaksa para pengusaha tempe tahu melakukan penghematan di sana sini. Biasanya pembelian kedelai dilakukan dalam partai besar. Sekali beli mereka bisa sampai satu ton untruk produksi seminggu. Sekarang hanya dapat membeli sekarung untuk sehari atau dua hari. Penghematan juga dilakukan pada besarnya ukuran tempe tahu. Ukurannya kini makin kecil dan menipis. Yang turut menyelamatkan usahanya, lanjut Wiji, adalah penggunaan bahan bakar. Kebanyakan pengusaha tempe tahu di Denpasar tidak menggunakan gas LPG namun serbuk kayu gergaji yang dibeli seharga Rp 1.000 per karung. Ampas tahupun turut membantu karena bisa dijual sebagai bahan pangan ternak babi dengan harga Rp 3.000 per karung.
Senada dengan Wiji, Sampir pengusaha tempe tahu di Jl Pulau Saelus, Denpasar turut mengalami hal serupa. Ia tidak berani menaikan harga jual karena sebelumnya tidak ada kesepakatan antar pengusaha. Bila menaikan harga sepihak maka ia ketakutan pelanggannya lari ke penjual lain. Proses pemotongan jalur penjualanpun turut dilakukan. Jika dulu para produsen bisa menjual pada pengecer maka sekarang mereka menjual langsung pada konsumen. “Sekarang susah kalau jual ke orang yang mau ngecer, mau dijual berapa. Untungnya saja sudah kecil, yang penting usaha saya bisa jalan saja,” kata Sampir.
sumber: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhu3-qnFTI9a0AlQQ1n52HshLHN5tyxPUAkghsFWEopsUqZAvd5fZtgn9liJe9ppXoROZfAe88il6K2DaDlVZ-rOpKHW1uquhZVtFWXc-wyV0UlCqZinAhuetzmCZjanjoSc-ocS9jBKsE/s1600-h/3+JUAL+TAHU.jpg