HMMM..., lezatnya.... Kenikmatan rasa kue moci memang sudah tidak diragukan lagi. Begitu digigit, kue itu terasa kenyal dan manis sehingga membuat ketagihan siapa saja yang mencicipinya. Di kala Lebaran tiba, penganan ini pun laris manis sebagai buah tangan warga Sukabumi yang mudik.
Setelah diolah hingga matang, kue itu lalu diangin- anginkan terlebih dahulu sebelum dikemas dalam kotak yang terbuat dari bagian dalam bambu berukuran sekitar 20 sentimeter. Karena itu, penganan tersebut juga dikenal dengan sebutan kue keranjang. Setiap keranjang bambu biasanya diisi lima sampai tujuh butir kue moci yang sudah ditaburi tepung.
Kini kita tidak hanya dapat menikmati kue moci berisi kacang dan tanpa isi. Untuk memenuhi selera konsumen, belakangan sebagian produsen mulai memproduksi aneka rasa kue moci, di antaranya rasa stroberi, durian, dan aneka macam buah-buahan lainnya. Perbedaan isi penganan itu baru terasa begitu kue digigit.
SEBENARNYA, makanan khas yang terasa kenyal itu biasanya disajikan di Jepang menjelang pergantian tahun. Hampir setiap rumah di Negeri Sakura itu menyiapkan kagamimoci, kue moci putih berbentuk bulat yang dianggap sebagai perlambang cermin dan diletakkan bersusun tiga dengan moci yang paling kecil di atas. Kue itu dipersembahkan di atas meja khusus bersama dengan sake, arak putih khas Jepang, dan makanan lainnya.
Tradisi ini mulai dikenal masyarakat di Tanah Air sejak Jepang masuk ke Indonesia. Salah satu daerah yang mengembangkan makanan khas itu adalah Sukabumi, kota berhawa sejuk di kaki Gunung Gede, Jawa Barat. Daerah yang berada sekitar 120 kilometer dari Jakarta itu memiliki tradisi turun-temurun untuk menyajikan kue moci.
Para pelancong yang singgah ke kota itu pun serasa kurang lengkap jika tidak membawa kue moci sebagai buah tangan. Melalui promosi dari mulut ke mulut, Sukabumi akhirnya dikenal sebagai daerah sentra produksi kue moci. Di kala Lebaran tiba, tempat penjualan kue moci diserbu warga yang mudik untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh.
Semula, penganan asli Tiongkok itu hanya dikenal di kalangan warga keturunan Tionghoa yang bermukim di Sukabumi. Biasanya penganan itu dikemas dalam keranjang bambu yang berbentuk kotak dan disajikan dalam berbagai kegiatan seperti hajatan warga, termasuk pesta pernikahan. Kue moci yang dikenal pertama kali adalah yang berbentuk bulat tanpa isi, lalu muncul kue keranjang berisi wijen yang disajikan pada acara bukan ritual.
Konon, kue itu pertama kali dipopulerkan oleh sejumlah warga keturunan Tionghoa pada tahun 1970-an. Saat itu terjadi perubahan situasi politik nasional. Pemerintah setempat mengeluarkan kebijakan berisi larangan bagi masyarakat keturunan Tionghoa membuka usaha di wilayah Kota Sukabumi.
Untuk menyambung hidup, warga keturunan mulai berwirausaha, salah satunya dengan membuat kue moci dan memasarkannya ke berbagai daerah di kota yang memiliki banyak bangunan kuno itu.
Data Pemerintah Kota Sukabumi mencatat, sedikitnya 10 produsen kue moci menjalankan usahanya di kota itu. Hampir semua kegiatan produksi hingga penjualan dilakukan di dalam rumah. Kendati tergolong industri rumah tangga, bisnis ini mampu menyerap ratusan tenaga kerja. Tak heran jika pemerintah setempat menjadikan kue moci sebagai maskot Kota Sukabumi.
Bisnis kue moci ternyata mampu menggairahkan ekonomi warga setempat. Tempat penjualan kue itu tersebar di berbagai tempat di Kota Sukabumi. Kue itu banyak dijumpai di sejumlah pasar swalayan maupun pertokoan.
Warga yang ingin membeli kue langsung dari tangan pembuatnya bisa singgah ke beberapa tempat penjualan kue di kota itu, di antaranya di Jalan Ahmad Yani, Bhayangkara, dan Jalan Otto Iskandardinata.
Selain rasanya enak dan kenyal, harga kue itu relatif murah. Harga kue moci selama ini tidak mengalami perubahan berarti kendati terjadi lonjakan harga bahan kebutuhan pokok. Di tingkat produsen, harga kue moci berkisar Rp 1.250 hingga Rp 2.000 per keranjang berisi lima hingga tujuh butir kue.
SEJAUH ini pemasaran kue itu masih sangat sederhana. Sebagian besar produsen memilih menunggu pembeli, bukan melancarkan strategi jemput bola. "Kalau kue dikirim ke daerah yang jauh, kami khawatir malah keburu basi. Soalnya, kue ini kan tidak tahan lama," tutur Ny Kokoy, produsen kue moci di Jalan Otto Iskandardinata, Sukabumi.
Dengan cara ini pun sejumlah produsen kue moci mengaku kewalahan melayani pesanan. Bahkan, selama Bulan Ramadhan hingga menjelang Lebaran, permintaan konsumen meningkat hingga lebih dari 50 persen dibandingkan hari biasa. Di Perusahaan Dagang Lampion, misalnya, jumlah penjualan kue moci selama bulan puasa mencapai 1.500 keranjang per hari, padahal pada hari biasa volume penjualan hanya berkisar 1.000 keranjang per hari.
Kendati makin diminati masyarakat, proses pengolahan moci kebanyakan masih bersifat tradisional, dengan menggunakan peralatan dan teknik pengolahan sederhana. Ini membuat produk dari satu produsen dengan produsen lain akan berbeda dalam hal penampakan dan rasa. Selain itu, penganan ini hanya tahan tiga hingga lima hari.
Sebagai produk makanan yang murah meriah, bisnis kue moci memang menjanjikan. Sayangnya, pengembangan bisnis ini seolah jalan di tempat lantaran keterbatasan modal usaha dan teknologi pengolahannya. (EVY RACHMAWATI)
Pekerjaan oleh Careerjet
Peluang Usaha dan Bisnis 2008
Wirausaha.com
Tempointeraktif.com - Ekonomi
Dinas Peternakan Jabar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar