Bermodalkan uang pinjaman dari seorang teman, Bukhari Usman membangun PT Tachimita Hoka Utama. Kendati sempat jatuh bangun, kini usahanya terus berkembang.
Apakah orang harus memiliki setumpuk uang untuk bisa memulai bisnis? Jawabannya: mungkin iya, tetapi tidak harus. Banyak modal lain yang bisa dijadikan pijakan awal untuk mendirikan bisnis, misalnya saja keahlian, jaringan, kejujuran atau kepercayaan atau kombinasi dari ketiganya. Jadi uang bukan segala-galanya. Hal ini telah dibuktikan sendiri oleh Bukhari Usman ketika awal-awal membangun PT Tachimita Hoka Utama, perusahaan pemasok plastik, tisu, bahan-bahan kimia, mesin high pressure. Dan belakangan, bakal merambah menjadi pemasok ban untuk alat-alat berat.
Namun bukan persoalan yang mudah membangun usaha yang mapan di tengah kerasnya kehidupan metropolitan, apalagi tanpa uang di tangan. Bukhari harus terjerembab beberapa kali. Ini membutuhkan ketegaran dan ketabahan tersendiri.
Bermodalkan uang Rp 50 ribu, Bukhari berangkat dari Aceh untuk mencoba peruntungannya di kota metropolitan. Ketika menginjakkan kakinya di Jakarta, 1996, uang yang tersisa tinggal Rp 3.000.
“Bekal uang itu saya peroleh dari penagihan piutang ketika saya berjualan di koperasi sewaktu di Aceh dulu,” kenang alumnus Fakultas Teknik Mesin Universitas Syah Kuala yang pernah berdagang nasi bungkus semasa kuliah ini.
Menumpang di tempat kakaknya, Bukhari mulai mengajukan lamaran ke sejumlah perusahaan. Tiga bulan berlalu, tak satu pun lamarannya membuahkan hasil. Kebiasaannya merokok pun terpaksa ia hentikan karena tidak memiliki penghasilan. “Saya malu karena terus menerus meminta uang rokok pada kakak. Terpaksa saya berhenti merokok, bukan karena sadar kesehatan tetapi karena memang tidak ada uang,” ungkap pria yang suka bercanda ini.
Pekerjaan pun tak kunjung datang, maka ia kembali pulang ke Aceh. Beban moral menghimpit dadanya. “Saya takut kegagalan ini menurunkan motivasi adik-adik kelas yang masih menempuh kuliahnya. Apa gunanya kuliah susah-susah kalau sulit mencari pekerjaan? Pasti pertanyaan itu muncul di benak mereka sewaktu melihat kegagalan saya,” ujar Bukhari.
Tak tahan dengan beban moral ini, Bukhari kembali ke Jakarta. Setiap hari kegiatannya hanya menulis surat lamaran. Namun, untuk kali ini membawa hasil. Sebuah perusahaan di Cilandak memanggilnya untuk mengikuti tes. Dari 32 calon, tersaring empat orang. Namun dalam tes terakhir Bukhari gagal, karena karyawan yang dibutuhkan hanya dua orang. “Kegagalan itu membawa hikmah karena saya ketemu Pak Arfan. Beliau yang asli Makassar ini menawari pekerjaan sebagai supervisor produksi di Eveready,” kenangnya.
Namun baru 1,5 bulan bekerja, Bukhari diterima sebagai karyawan Trakindo, yang sejak semula ia incar. Dengan rasa sungkan ia ungkapkan persoalan ini ke Arfan. “Tetapi Pak Arfan justru mendukung saya. Beliau tidak tersinggung malah menyemangati,” tutur Bukhari.
Setelah mendapatkan training, Bukhari yang diterima di bagian Service Analysis ini kemudian ditugaskan ke Kalimantan Timur. Lantas bertugas ke Papua. Selama bertugas di pulau paling timur Indonesia ini, Bukhari sempat pulang ke Aceh untuk menyunting Narulita. Namun ia tidak kerasan tinggal di Papua.
“Daripada dipecat lebih baik saya pulang ke Jakarta. Waktu itu tengah krisis moneter. Di Jakarta ketemu dengan partner dari Amerika. Saya dikirim ke Newmont, di Nusa Tenggara Barat, namun hanya betah seminggu. Akhirnya saya mengundurkan diri, pada Januari 2000,” ujarnya. “Istri saya menangis, bapak saya kaget ketika mengetahui saya mengundurkan diri. Padahal saat itu saya tidak mempunyai pekerjaan,”
Kesulitan baru mulai ia hadapi. Untuk menyambung hidupnya, Bukhari berjualan celana jeans. Celana yang ia beli dengan harga Rp 25 ribu per potong dijual Rp 100 ribu dua kali bayar. “Sejak saat itu saya bertekad tidak ingin mencari pekerjaan tetapi ingin menjadi pengusaha,” ucap bapak dari Cut Kemala Hayati, Rais Hidayatullah dan Cut Mutia Rahma ini.
Ia mulai menawarkan proposal sebagai pemasok kebutuhan bahan kimia ke Trakindo. Maret 2000, proposalnya tembus dan mendapat order Rp 38,85 juta. Mestinya Bukhari senang, tetapi ia justru kelimpungan karena tidak memiliki modal.“Saya telepon Pak Fauzi (Iskak, bos BeKaos). Ternyata beliau menyanggupi untuk memberikan pinjaman. Dengan naik angkot saya menemui Pak Fauzi dan meminjam Rp 20 juta. Pak saya pernah mendengar uang sebesar ini tetapi baru sekarang memegangnya. Melihat keluguan saya, Pak Fauzi menjadi trenyuh dan percaya,” kata Bukhari mengenang. Padahal sebelum transaksi ini keduanya baru bertemu sekali.
Belum sempat uangnya cair, lagi-lagi Bukhari mendapat order. Ia butuh modal lagi Rp 80 juta. Dan lagi-lagi, Fauzi Iskak menyanggupinya. Bukhari membayar kepercayaan ini. Setelah uangnya turun ia mengembalikan pinjaman tersebut. Pada Mei 2000 ia mendapat order lagi dan butuh modal Rp 90 juta. Fauzi Iskaklah dewa penolongnya. “Pak uang yang saya serahkan ini senilai satu mobil,” Bukhari menirukan Fauzi.
Bukhari kaget mendengar pernyataan Fauzi ini. Ia mengira Fauzi tidak percaya kepadanya. “Kalau setelah Bapak menyerahkan uang ini tidak bisa tidur, lebih baik saya tidak mengambilnya. Ternyata, yang dimaksud beliau adalah bisnis ini sudah besar sehingga sudah waktunya saya mendirikan usaha dengan bendera sendiri, karena selama ini saya menggunakan bendera orang lain,” imbuh satu-satunya anak laki-laki dari pasangan Usman-Maryam ini.
Atas saran Fauzi, 27 Mei 2000 Bukhari mendirikan PT Tachimita Hoka Utama.Tachimita Hoka dalam bahasa Aceh berarti coba cari kemana. “Ini sebagai instruksi bagi diri saya sendiri untuk selalu berusaha dan selalu mencari peluang,” terang pria ramah ini.
Meski bendera bisnis telah didirikan, dan order mulai berdatangan bukan berarti kesulitan telah terlampaui. Berkantor di rumah kakaknya tanpa fasilitas komputer dan fax, tentu saja sulit bagi Bukhari untuk bisa meningkatkan pertumbuhan usahanya secara signifikan. Ia mulai mencari talangan dana untuk membeli komputer dan fax, karena selama ini order difax melalui wartel milik tetangga. Setelah enam bulan memiliki komputer dan fax, usahanya berkembang pesat. Bukhari mengontrak sebuah rumah di dekat pemakaman umum. “Kata orang angker, tetapi karena sewanya murah saya ambil kontrak dua tahun,” ujarnya.
Baru seminggu pindah kantor, Bukhari sudah berhasil membeli mobil Kijang. Satu tahun sesudah itu Bukhari berhasil membeli rumah di Kompleks Merpati, seluas 365 M2, waktu itu seharga Rp 200 juta. “Saya pindah ke rumah, meski kontraknya masih sisa satu tahun.”
Tiga bulan kemudian ia berhasil membeli ruko senilai Rp 350 juta di Jalan Peta Selatan. Karena uangnya kurang, separuhya ditalangi bank. Ia juga mulai memikirkan ekspansi usaha ke bisnis minimarket di daerah Peta Selatan dan Peta Barat. Alih-alih mendongkrak penghasilan, justru bisnis minimarket membuatnya kelimpungan. “Pada waktu juga banyak tempat perbelanjaan yang lebih besar. Jadi ibaratnya saya berjualan bensin di belakang SPBU. Masih mending kalau di depannya, ini di belakangnya,” katanya mengambil perumpamaan.
Karena mengurusi minimarket, order bahan-bahan kimia, plastik dan tisu turun drastis. Ia kembali merintis dari nol. Namun, berkat kejujuran dan keuletan bisnis yang sempat ia cuekin ini pulih kembali. Selain order dari Trakindo, Tachimita juga mendapatkan order dari sejumlah perusahaan lainnya. Bahkan untuk keperluan khusus beberapa hotel berbintang lima memesan plastik dari Tachimita.
“Uniknya, para pelanggan saya banyak yang belum ketemu muka. Semua transaksi berdasarkan atas saling percaya. Bahkan pelanggan yang belum pernah bertemu muka dengan saya sering memberikan rekomendasi kepada temannya. Jadi marketingnya berantai,” sebut pria yang menomorkan satukan kejujuran dan kepercayaan dalam berbisnis ini.
Berdasarkan pengalaman itu, Bukhari hanya akan berekspansi ke bisnis yang masih terkait dengan alat-alat berat dan pertambangan. Selain memasok Tachem (Tachimita Chemical), ia juga merambah ke high pressure dan ban kendaraan peralatan berat. Untuk high pressure semula ia mengimpor dari Cina. Tetapi belakangan ia mengimpor high pressure bermerek Idro Base dari Italia. Bahkan secara lesan ia sudah ditunjuk sebagai sole agent untuk Indonesia. “High pressure dari Italia kualitasnya terjamin. Lagipula kalau sudah menunjuk suatu perusahaan sebagai sole agent semua distribusi di Indonesia harus melalui perusahaan itu. Berbeda dengan produk Cina, siapa pun bisa mengimpornya,” papar Bukhari.
Kehidupan Bukhari saat ini jauh lebih baik dibandingkan 10 tahun lalu ketika ia pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta. Itu semua berkat kejujuran, kepercayaan dan pertemanan. Dan tentu saja keuletan. [sukatna/pengusaha]