Pekerjaan oleh Careerjet

Peluang Usaha dan Bisnis 2008

Wirausaha.com

Tempointeraktif.com - Ekonomi

Dinas Peternakan Jabar

Selasa, 20 November 2007

LIPUTAN USAHA

Jangan biarkan usaha Anda berjalan di tempat tanpa ada perkembangan dan kenaikan laba. Kami akan memuat profil usaha Anda beserta foto pendukung.

Anda Berminat Mempromosikan dan Memasarkan Produk/Barang di www.info-usaha.tk


----------------------
HUBUNGI KAMI SEKARANG JUGA
----------------------
IKLAN/PEMASARAN
CHATON MOCHAMMAD
HP:
081330654989
E-Mail:
chabib78@gmail.com
atau
tabloidprobis@gmail.com

Sabtu, 17 November 2007

H. Suganda; Sukses Mengeruk Untung Kerupuk

H Suganda

Hampir 20 tahun lamanya menekuni bisnis kerupuk. Selama itu pula, pengusaha yang satu ini berhasil menghimpun laba dan membesarkan usahanya.

Kerupuk memang makanan yang berbobot enteng. Tapi, potensi usahanya jangan dianggap enteng. H. Suganda sudah membuktikannya. Bisnis kerupuk yang ditekuninya dari nol sejak 1982, menghantarkannya sebagai pengusaha yang sukses merajai pasar kerupuk di Jakarta.

Faktanya, di seantero Jakarta, kerupuk buatan Suganda yang diberi merek SHD pada kalengnya, sudah sangat terkenal. Bahkan, saking terkenalnya, kemudian banyak pengusaha kerupuk lain yang ikut-ikutan mencantumkan merek "SHD" pada kaleng kerupuknya. Mungkin ingin mencantol sukses kerupuk Suganda di pasar. Tapi, bagi Suganda, penjiplakan merek itu bukan merupakan persoalan serius. Sebab, pemasaran kerupuknya toh tetap berjalan lancar.

Suganda mengawali usaha kerupuknya dengan modal pas-pasan plus peralatan sederhana pemberian orang tuanya. Untuk tempat produksi yang sekaligus berfungsi sebagai tempat tinggal, diperoleh dengan cara mengontrak.

Produksi awal, menghabiskan setengah kuintal tepung tapioka, yang dicampur sedikit dengan terigu. Penjualannya, yang disebar melalui para pedagang, ternyata berjalan lancar. Setiap keuntungan yang diperoleh, dikumpulkan. Dari situ, Suganda membeli berbagai barang seperti peralatan pabrik, sampai tanah dan bangunan.

Suganda berprinsip, daripada menabung lebih baik diwujudkan dalam bentuk barang. Karena itulah, kemudian dia bisa memiliki rumah dan sebuah pabrik kerupuk dengan peralatan lengkap, serta tempat pengeringan yang cukup luas, di Jakarta.

Sekarang ini, kerupuk SHD disebar oleh sekitar 40 pedagang ke wilayah Pasar Minggu, Mampang, bahkan sampai ke daerah Kota. Tak heran jika krupuk SHD dijumpai di mana-mana. Produksinya rata-rata menghabiskan 4 kuintal tepung per hari.

Satu kuintal tepung, menghasilkan sekitar 7.000 biji krupuk. Bahan baku krupuk putih, adalah tepung tapioka murni. Untuk membuat krupuk coklat/opak, setiap 50 kg tepung tapioka ditambah 7 kg tepung terigu.

Dalam mengoperasikan kegiatan produksinya, Suganda memperkerjakan 20 karyawan, yang ditampung di sebuah bangunan samping rumahnya. Namun, sampai sekarang, Suganda masih mengontrol secara ketat bumbu adonan, sehingga kualitas rasa kerupuknya selalu terjaga.

Untuk pemasaran kerupuknya, Suganda menyediakan gerobak dan kaleng, yang bisa digunakan oleh pedagang. Jadi, para pedagang yang mau menjual, tinggal mengambil kerupuk mentah dan minyak, lalu menggoreng sendiri. Seorang pedagang, rata-rata membawa sekitar 100 kaleng krupuk, untuk dititipkan di warung-warung. Kepada pedagang, Suganda menjual kerupuknya Rp 150. Sedangkan para pedagang, bebas menetapkan harga jualnya ke warung atau toko-toko.

Meskipun sudah bisa melenggang sendiri sebagai pengusaha kerupuk yang sukses, namun Suganda tetap peduli pada sesama pengusaha kerupuk di Jakarta. Kebetulan mereka kebanyakan dari Ciamis, Jawa Barat, daerah asal Suganda. Salah satu bentuk kepedulian itu, diwujudkan dengan inisiatif Suganda untuk membentuk paguyuban pengrajin krupuk wilayah Jakarta Selatan, sekaligus memimpinnya sebagai ketua.

Salah satu upaya yang sekarang tengah dilakukan paguyuban, adalah menyeragamkan harga. "Jangan sampai terjadi persaingan tak sehat, dengan cara saling banting harga," kata Suganda. Ret

KUNCI SUKSES H. SUGANDA:

* Tekun menjalankan usaha dari nol.

* Sejak awal sudah mencantumkan merk.

* Memanfaatkan keuntungan untuk pembelian asset berharga.

* Mengontrol mutu produksi secara langsung.

KONTAK H. SUGANDA:

Jl.Batumerah I RT/RW:04/02 No.11

Kalibata, Jakarta Selatan

Fax. (021) 7974565

Sumber: Wacana Mitra Boga Sari

http://www.sajadah.net/comments.php?id=24_0_1_0_C

Reza Malik; Obsesi Usaha Roti Sang Santri

Reza Malik

Santri jebolan pondok pesantren ini berhasil mengembangkan usaha roti hingga produksinya bisa meludeskan 150 bal tepung terigu sehari. Dia masih menyimpan sebuah obsesi besar.


Untuk ukuran pengusaha roti skala kecil menengah (UKM), prestasi Reza Malik memang luar biasa. Lihat saja volume produksinya, yang menghabiskan tepung terigu sampai 150 bal sehari. Dengan merek Riz-Qy, roti produk Reza dipasarkan melalui 14 unit armada mobil, 50 unit gerobak becak, dan 50 orang pedagang pikulan. Di samping itu, Reza masih memiliki tiga buah toko roti.


Dilihat dari sarana pemasarannya, jelas, Reza membidik konsumen kelas bawah, menengah sampai atas sekaligus. "Khusus yang pikulan, saya anggap perlu agar bisa menyasar daerah pemukiman yang sulit dijangkau kendaraan," ujar Reza, "Sedangkan yang dijajakan di toko, adalah roti kualitas bakery, untuk kalangan menengah ke atas." Pria berusia 45 tahun itu, berniat mengembangkan toko rotinya, dengan sistem waralaba.


Reza Malik memulai usaha roti pada 1982, dengan modal Rp 10 juta. "Ketika itu, terus terang saja, pengetahuan saya tentang roti, nol," akunya. Usaha Reza mulai berkembang, ketika —pada 1984— mengikuti pelatihan pembuatan roti di baking school bogasari selama 2 minggu. "Dari situ, saya bisa meningkatkan pengetahuan dan keterampilan membuat roti yang baik," ujarnya.


Agar selalu bisa mengikuti selera konsumen, Reza melakukan observasi secara periodik. "Ya, observasinya sederhana saja. Yang penting, kita tahu apa maunya konsumen," jelasnya, "Intinya, kita harus tanggap dan cepat menyesuaikan diri dengan perubahan selera konsumen."


Dalam rangka itulah, Reza tak pernah bosan mencari pengetahuan baru soal pembuatan roti. Misalnya, dia tak sungkan-sungkan mendatangi karyawan bahkan pemilik bakery terkemuka di Jakarta, untuk mengintip rahasia pembuatan roti mereka. Buku-buku tentang roti pun, menjadi objek pemburuannya.


Kerja keras Reza memang tidak sia-sia. Usaha rotinya terus mengalami peningkatan. Krisis ekonomi, memang sempat menggoyahkan bisnis roti Reza. "Tapi, dengan sekuat tenaga, saya upayakan jangan sampai terjadi penurunan drastis. Paling tidak, agar tidak terjadi PHK," ucapnya, "Kalau perlu, saya mengambil kredit bank, meskipun bunganya tinggi."


Reza, seorang santri jebolan Pesantren Gontor, Jawa Timur tahun 1978, memang memiliki jiwa wirausaha yang luar biasa. Di samping roti, dia juga berhasil mengembangkan sebuah toko grosir. Toko bernama "Haji Malik" yang di daerah Jatinegara, Jakarta Timur, sudah sangat terkenal itu, juga berperan sebagai distributor tepung terigu, dengan volume penjualan sekitar 15 ribu bal per bulan. Reza juga memiliki perusahaan yang bergerak dalam bidang penyaluran tenaga kerja ke luar negeri. "Tapi, yang paling saya nikmati, ya, bisnis roti ini," katanya.


Menurut Reza, usaha roti bisa mendatangkan kepuasan tersendiri, terutama karena bisa memberikan manfaat pada banyak orang. Karena itu, selama menjalankan usahanya, Reza terus memendam sebuah obsesi besar: mendirikan baking school di daerah Jakarta Timur. "Dengan merangkul teman-teman sesama pengusaha roti, mudah-mudahan pada 2003 nanti rencana itu bisa terwujud," tekadnya.


Reza yakin, keberadaan baking school akan sangat membantu calon-calon pengusaha makanan berbasis tepung, atau pengusaha yang mau mengembangkan usahanya. Pasalnya dia sendiri merasa, perkembangan usahanya sangat ditopang oleh peningkatan keterampilan dan pengetahuan di bidang pembuatan roti. [ddy]


KUNCI SUKSES:

* Serius mempelajari teknik pembuatan roti yang baik.

* Melakukan observasi secara periodik, untuk mengikuti perubahan selera konsumen.

* Membidik konsumen kalangan atas dan bawah, dengan menggunakan berbagai sarana penjualan yang sesuai.

* Menikmati usaha yang dijalaninya.


KONTAK REZA MALIK:

Jl. Gempol NO.25 Bambu Apus

Cilangkap - Jakarta Timur

Telp: (021) 8444404

Hilman Budiyadi, General Manager dan Pendiri PT Primatama Quantumjaya

Drop out kuliah lantaran terpikat bekerja, keluar, lalu mendirikan usaha sendiri. Kini, berkat pengalaman dan ketekunannya, Asep.begitu panggilannya.telah menjadi netpreneur pada usia yang relatif muda. Pesaingnya pun kelas dunia.

Ingin Mendirikan Surabaya Camp

Sukses kadang tak selalu ditentukan dari awal. Ini pula yang dialami seorang pria drop out kuliah bernama Hilman Budiyadi, general manager dan sekaligus pendiri PT Primatama Quantumjaya, perusahaan konsultan teknologi informasi (TI). Menurut Hilman, yang akrab dipanggil Asep, setelah hampir lima tahun mengembangkan usaha, ia baru tahu bahwa Michael S. Dell, pendiri Dell Computer, ternyata juga seorang drop out. Ia pun ingin meniru jejak Dell. 'Akan tetapi memang tidak mudah untuk bisa menjadi seperti dia,' tuturnya.

Asep hanya setahun menjadi mahasiswa Politeknik ITB. Ia sempat bekerja di beberapa perusahaan, sebelum akhirnya mendirikan usaha sendiri. Kini kliennya adalah berbagai perusahaan kelas internasional. Bahkan kini Asep siap bertanding dengan pemain asing dalam tender berbagai proyek. Untuk menopang pekerjaannya, Asep membuka kantor di kawasan Jemur, Surabaya. Karyawannya para sarjana. Lalu untuk 2003, pada bulan Januari, Asep sudah mengantongi sejumlah proyek senilai Rp1,7 miliar. Itu terjadi sepuluh tahun kemudian, sejak ia mendirikan usaha sendiri.

Sempat Jadi Karyawan

Asep memulai usahanya dari sebuah ruang berukuran 2 x 6 meter persegi di rumah milik `mantan` pacar, yang kini menjadi istrinya, Maya Damayantie. Asep mengaku, ide bisnisnya muncul dari keinginan untuk bebas dari segala aturan yang mengikatnya jika ia bekerja di suatu perusahaan. Sebelumnya, Asep memang pernah bekerja di BCA dan sebuah perusahaan asing yang bergerak di bidang TI. Tuturnya, 'Saat kuliah di ITB jurusan teknik komputer tahun 1991, saya mendengar bahwa BCA di Sidoarjo membutuhkan seorang staf EDP. Saya pun kembali ke Surabaya, melamar untuk posisi tersebut. Ternyata saya diterima. Maka, saya pun mengundurkan diri dari kuliah.'

Di bank tersebut, Asep banyak menghabiskan waktunya untuk mengikuti berbagai macam pelatihan dan pendidikan. 'Kurang lebih sepertiga dari waktu saya selama bekerja di BCA Sidoarjo dihabiskan untuk training,' ujarnya. Pada tahun kedua Asep bekerja, terjadi rotasi karyawan yang membuatnya gerah. Maka, Asep pun memutuskan untuk keluar dari BCA.

Hanya sebulan Asep menganggur. Melalui informasi dari temannya semasa kuliah, Asep mendengar ada perusahaan asal Jepang yang membutuhkan programer. Perusahaan yang bernama PT Indonusa sedang membuka cabang baru di Surabaya. Asep melamar, dan diterima.

Di perusahaan itu kinerja Asep terbilang bagus. Maka tak heran kalau Asep bisa menjadi orang nomor dua di perusahaan tersebut, setelah atasannya, Yoshio Ito. Sayangnya, Indonusa melihat bahwa secara bisnis pasar di Jawa Timur tidak memadai. Maka, satu setengah tahun kemudian, perusahaan itu menutup usahanya. Pil pahit harus ditelan Asep. Ia kembali menjadi pengangguran.

Namun, pengalaman bekerja di Indonusa membuat naluri wirausaha Asep bangkit. 'Mulai saat itu, saya memberanikan diri tidak melamar pekerjaan baru dan akan menjalankan usaha sendiri di bidang software. Saya yakin pangsanya bisa sangat luas, walaupun kondisi pasar saat itu belum matang,' tutur putra pertama dari enam bersaudara ini.

Bermodal Notebook

Keinginan itu ia wujudkan dengan mendirikan perusahaan PT Primatama Quantumjaya. Perusahaan itu berkantor di sebuah ruangan eks kamar pembantu di rumah calon mertuanya. Kala itu ia hanya ditemani seorang office boy. 'Saat itu modal awal saya adalah sebuah sepeda motor, yang saya miliki selama saya bekerja di BCA dan Indonusa,' tutur penggemar biliar ini. Oleh karena alat utama seorang programer adalah sebuah PC atau notebook, maka sepeda motor itu pun ia jual dan dibelikan sebuah Notebook 486.

Usaha gigih Asep mulai menunjukkan hasil. Perlahan-lahan satu per satu klien ia dapatkan. 'Saya menggunakan strategi pemasaran dari mulut ke mulut,' katanya. Asep mengaku pasar yang dibidik adalah bidang manufaktur. Ini sesuai dengan pengalamannya semasa bekerja di Indonusa. Akan tetapi, dalam perjalanannya, pasar bisnis Asep melebar hingga ke kalangan universitas, perusahaan konsultan, kantor-kantor pemerintahan, koperasi, dan berbagai bidang usaha lainnya. Asep mengkhususkan pasarnya pada customized software. Bagi Asep, pola seperti ini justru yang lebih efektif dan tepat sasaran, khususnya untuk pasar Jawa Timur yang relatif masih awam dengan dunia TI. 'Kerja kami ibarat tukang jahit. Jadi, disesuaikan dengan permintaan klien,' jelasnya.

Strategi pemasaran ini bukan tanpa perhitungan. Menurut dia, merujuk pada sebuah riset, hampir 75% investasi TI gagal karena semua produknya dianggap siap pakai, termasuk produk dari vendor kelas dunia sekalipun. Padahal dalam prakteknya tidak demikian. 'Perlu persiapan yang cukup matang dari sisi internal calon pemakai,' papar Asep.

Sekian waktu berjalan, ternyata Asep kewalahan juga melayani pasar Jawa Timur. Penyebabnya, tak banyak perusahaan yang seperti dia. Menurut Asep, di pasar Jawa Timur, tingkat persaingan untuk ready-made software sebenarnya sudah mulai ramai. Namun, kebanyakan dari mereka bisa dibilang underground, yakni dikerjakan oleh kalangan mahasiswa, pebisnis yang free lance, atau lembaga yang susah untuk dideteksi. Situasi semacam itu menyebabkan Asep merasa cukup berjaya. Asep mengaku, untuk pasar Jawa Timur, kini perusahaannya tidak bisa dipandang sebelah mata.

Setelah merasa cukup matang, pada 2000, Asep merasa sudah saatnya merambah ke luar Jawa Timur. Gayung pun bersambut. Sejumlah perusahaan ternyata berminat terhadap solusi yang ia tawarkan. Padahal, di luar Jawa Timur, Asep harus bersaing dengan pemain asing yang reputasinya cukup dikenal.

Berkompetisi dengan Asing

Salah satu pengalaman yang cukup membuat Asep percaya diri adalah ketika mendapatkan klien PT Kelian Equatorial Mining (KEM), di Kalimantan Timur. Di perusahaan yang termasuk Grup Rio Tinto ini, Asep berhasil menggeser peran konsultan asing dari Australia. 'Sebelumnya pembuatan software yang sifatnya taylor-made itu selalu diberikan kepada perusahaan atau perorangan di Australia dan AS, dengan tarif jasa per orang per hari bisa US$1.000. Bahkan untuk konsultan dari AS bisa mencapai US$2.000,' tutur Adhi Prasiddha Yoedo, salah seorang staf Asep yang memimpin proyek di KEM tersebut.

Saat pertama kali masuk ke KEM, menurut Adhi, memang tidak mudah. Sebagai uji coba, Asep dan timnya diberi pekerjaan yang cukup sulit. Papar Asep, 'Kami diminta membongkar sebuah software pertambangan, Modular Mining System buatan perusahaan software dari Arizona, AS, yang berfungsi untuk melakukan tracking via GPS. Melalui software ini bisa dilacak berapa kendaraan berat yang ada di tambang terbuka, berapa ton batuan yang diangkut, berapa sisa oli, solar, minyak yang ada di kendaraan tersebut, dan sebagainya. Ini mirip sistem telemetri pada mobil F-1, di mana setiap detik informasi tentang keadaan mobil dikirimkan ke sebuah pusat data.'

Pihak KEM menilai Asep dan timnya lolos ujian. 'Kualitas hasil kerja kami dianggap setara dengan konsultan asing sebelumnya, tetapi biayanya sangat murah. Tarif per orang per hari kami hanya Rp1 juta, yang jika dikurs hanya US$110-an,' ungkap Asep. Padahal, lanjut dia, biaya ini adalah yang terbesar yang pernah diajukannya. Asep mengaku bahwa penerimaan terbesar tahun 2002 datang dari KEM.

Pengalaman dengan KEM membuat dirinya makin yakin menghadapi AFTA. Menurut Asep, sepandai-pandainya perusahaan asing yang akan masuk ke Indonesia, mereka pasti membutuhkan mitra lokal. 'SAP, Oracle, Microsoft, Lotus, dan yang lainnya selalu membutuhkan mitra lokal untuk menangani pasarnya. Apalagi produk kami murni customized. Kami datang ke klien tidak dengan software yang sudah jadi, tetapi dengan bekal pengalaman. Jadi, kami dengarkan apa maunya klien,' jelas pria kelahiran Garut, 32 tahun yang silam itu.

Asep bertutur, pernah ada kliennya yang menggunakan empat modul perangkat lunak buatan asing seharga Rp20 miliar. Namun, selama dua tahun mencoba, hasilnya ternyata tidak maksimal. Lantaran kecewa dengan produk asing tersebut, mereka pun memutuskan untuk mencoba produk buatan Asep yang harganya cuma Rp60 juta. Ternyata ini malah berhasil.

Pengalaman tersebut membuat Asep makin yakin bahwa dirinya siap bersaing dengan berbagai pihak, termasuk pemain asing. Asep pun cukup puas dengan kinerjanya selama ini. Hal itu setidaknya bisa dilihat dari penawaran berbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta. 'Kalau dulu kami yang menjemput bola, kini mereka datang ke kami,' ujar pria yang mengaku belajar berdagang dari sang nenek ini. Nilai proyeknya kini mulai dari Rp30 juta sampai Rp250 juta, dengan lama kerja 3-12 bulan. 'Padahal ketika pertama kali mendapat proyek, nilainya cuma Rp750.000. Itu pun dikerjakan selama tiga bulan,' kenangnya.

Ingin seperti Sigma

Meski drop out kuliah, Asep terus menimba ilmu melalui berbagai cara. Ia belajar dari sang istri yang bekerja sebagai konsultan psikologi dan sedang menempuh program magister di Universitas Airlangga, Surabaya. Di samping itu, Asep juga menggali ilmu dari berbagai bahan bacaan. Cara seperti ini pun ia terapkan pada 18 karyawannya. 'Bagi saya, karyawan adalah investasi,' tutur pria yang mengaku tak pernah memecat karyawan ini.

Lewat investasi itulah Asep yakin akan memperoleh sumber daya yang makin berkualitas dan lebih bisa bersaing di bisnis tersebut. Dalam bayangan Asep, selama 10-20 tahun ke depan, ia bakal membesarkan bisnisnya menjadi sekelas PT Sigma Cipta Caraka dengan Bali Camp-nya. 'Saya ingin ada Surabaya Camp,' cetusnya. Asep mengaku, ia menjadikan Toto Sugiri, pendiri Bali Camp, sebagai tokoh idola. 'Saya senang gayanya,' ucap dia.

Visi

Menjadi salah satu perusahaan taylormade software yang diperhitungkan secara nasional dan internasional, dengan memberikan perangkat lunak yang fit, on time and on cost, free error, dan free misperception.

Misi

Berkomitmen untuk selalu meng-update teknologi terbaru

Bersama-sama klien mewujudkan cita-citanya dengan motto: take it and profit

Akan selalu menjaga dan memelihara kompetensi di bidang software engineering serta transisi teknologi dalam jangka panjang.

Filosofi

Every body must be happy. Maksudnya, dalam proses kerja, semua pihak, baik klien ampun karyawan, harus bahagia

Tantangan

Persaingan global dalam bisnis TI seiring berlakunya AFTA 2003. Perusahaan dengan image dan modal kuat merupakan ancaman yang cukup berat.

State of the art technology. Menghadapi tuntutan pasar, maka update pengetahuan secara terus menerus adalah suatu keharusan dalam bidang yang sangat bergantung pada perkembangan teknologi yang luar biasa.

Kematangan pasar sebagai ladang bisnis yang relatif baru.

Strategi

Terus menerus meng-update pengetahuan melalui buku, internet, yang dilakukan di kantor pada waktu senggang, serta presentasi rutin yang diberikan oleh karyawan sendiri secara bergantian.

Memberikan value added adalah suatu keharusan. Dalam penawaran dan tiap presentasi, selalu mencoba menawarkan perangkat lunak yang murah (tren perangkat lunak yang open source), legal (selalu menggunakan perangkat lunak yang legal dalam men-develop dan menawarkannya kepada klien), serta andal (memberikan sistem solusi yang dapat diandalkan dalam kurun waktu yang panjang).

Inovasi berkelanjutan dalam produk, pemasaran, serta pemberian harga.

Produk

Contract Software Development. Pembuatan perangkat lunak yang disesuaikan dengan spsifikasi sistem yang dikehendaki klien.

Outsourcing Software Development. Pembuatan perangkat lunak yang dilaksanakan bersama-sama dengan klien.

Outplacement Software Development. Pembuatan perangkat lunak yang dilaksanakan oleh tim dari PT Primatama Quantumjaya dan dengan menempatkan mereka di tempat klien untuk jangka waktu tertentu.

sumber:wartaekonomi

H. Endang; Pengusaha Kue Kering Tahan Banting

H Endang

Sudah 18 tahun H. Endang menggeluti usaha kue kering dengan jatuh bangun. Dengan pengalamannya selama itu, dia tak gentar menghadapi persaingan yang terasa kian keras.


Awalnya, H. Endang termasuk pedagang serabutan. Dia jualan apa saja, yang dianggapnya menguntungkan. Sekali waktu jualan ikan, lain waktu ganti kerupuk, dan sebagainya. Cara berdagang seperti itu, boleh jadi menguntungkan. Tapi, sifatnya tidak pasti. Bahkan hampir mustahil dikembangkan.


Suatu ketika, sang isteri iseng membuat kue nastar dan membawanya ke pasar. "Sedikit, cuma menghabiskan setengah kilo tepung terigu," kenang Endang. Tapi, ternyata, nastar itu langsung habis terjual. Hari berikutnya, habis lagi, walaupun jumlahnya ditambah.

Lantas, otak bisnis Endang pun berputar, dan memutuskan untuk berkonsentrasi menggarap usaha kue kering, yang dimulai dengan nastar itu. "Saya begitu yakin, usaha ini menjanjikan," tandasnya, "Karena itu, kami bertekad menggarapnya dengan serius. Tidak akan ada lagi istilah gonta-ganti dagangan."


Menggunakan sepeda motor, Endang pun bergerak menawarkan kue yang dibuat bersama istrinya, ke toko-toko. Tidak seperti ketika menjual dalam jumlah sedikit yang selalu langsung habis, kali ini Endang harus bekerja keras agar kuenya diterima oleh toko dan agen.


Lima tahun lamanya, Endang berjibaku memasarkan kuenya, dengan hasil yang masih jauh dari harapan. Titik terang mulai terlihat, ketika dia menembus agen besar yang mempunyai jaringan pemasaran luas, hingga ke berbagai supermarket di Depok, Jawa barat, seperti Ramayana, Goro, Hero serta Gelael. Bahkan, juga melalui agen, kue kering Endang yang diberi merek "Selera" itu, sampai ke daerah Bekasi, Tangerang dan Bogor.


Dari hasil penjualan, H. Endang menyisihkan untuk menambah aset perusahaan. Rumah di Depok yang dulunya kontrak, kini milik sendiri dan cukup luas untuk produksi. Peralatan ditambah. Sebuah kendaraan roda empat, dibeli untuk memperlancar kegiatan operasional.


Dalam soal keuangan, Endang berpinsip, "Kalau semua bahan baku sudah terbeli, di tangan masih ada uang, barulah saya belanjakan untuk menambah aset. Dengan demikian saya selalu terbebas dari utang," papar lelaki asal Garut, Jawa Barat ini.


Sedangkan untuk menjaga mutu kuenya, dia sangat menghindari bahan pengawet. "Saya juga melakukan kontrol langsung ke toko dan supermarket tempat kue dijajakan," ujarnya. Meskipun kuenya kuat sampai dua bulan, jika seminggu ada yang belum laku, Endang langsung menariknya. Dengan kontrol ketat itu, Endang bisa memastikan bahwa produk yang dijual ke konsumen, masih dalam keadaan baik. Untunglah, jumlah produk yang ditarik, rata-rata hanya sekitar 10 persen.


Setiap menjelang lebaran, merupakan masa panen besar bagi Endang. Sehari, produksinya bisa menghabiskan 100 sak tepung terigu. Harga jual lima jenis kue keringnya Rp 3.750 per bungkus, atau Rp 11 ribu per stoples.


Ketika badai krismon datang, usaha Endang terguncang. Produksinya merosot tajam, hingga pernah hanya menghabiskan satu sak tepung terigu sehari. Terlebih, belakangan ini, muncul kecenderungan supermarket membuat kue sendiri, dan hanya sedikit saja menerima kue dari luar.


Sebagai langkah alternatif, sekarang ini H. Endang banyak mengarahkan pemasarannya ke daerah lain, terutama di pinggiran Jakarta. "Di sana, kue kami kembali menemukan pasar yang baik," ujar Endang, lega, "Sekarang, seluruh pemasaran, saya konsentrasikan ke daerah pinggiran itu."


Kalau dihitung-hitung, 18 tahun sudah Endang menggeluti usaha kue kering. Selama itu pula, dia bergulat dengan berbagai tantangan. Pantas saja, kalau dia menjadi tahan banting.


KUNCI SUKSES:

* Memutuskan total menggarap kue kering, ketika melihat prospeknya yang bagus.

* Ulet dalam melakukan pemasaran.

* Menjaga kualitas, dengan melakukan kontrol langsung secara ketat.

* Segera mencari pasar baru, ketika pasar lama mulai tertutup.


KONTAK H. ENDANG:

Jl. Setu Baru RT 04/01 No.25

Sidomukti, Sukmajaya, Depok 16415

Telp: (021) 7717436

Sumber: Wacana Mitra Boga Sar

Minggu, 11 November 2007

STRATEGI DAN TIPS

Malu Bertanya, Sesat Berhutang

Malu bertanya, sesat di jalan. Begitu kata pepatah, dengan tingkat kebenaran yang tidak perlu diragukan lagi. Masalahnya, benarkah kita sudah menjadi orang yang mau bertanya, untuk hal-hal yang belum kita ketahui atau butuh konfirmasi?

Kultur budaya kita ternyata belum menunjukkan kondusifitas iklim bertanya. Tak percaya? Lihatlah, betapa banyak seminar-seminar yang miskin pertanyaan, kendati sepulang mengikuti seminar, banyak peserta yang masih menggantungkan berbagai tanda tanya dan ketidakjelasan atas materi. Masalah waktu? Tentu saya tidak akan mengkomplain kondisi yang demikian jika masalahnya memang tak ada kesempatan untuk bertanya.

Tengok juga, betapa banyak orang tersesat –baik itu sesat jalan, sesat analisa, hingga sesat berpikir dan sesat keyakinan–, hanya karena malas bertanya. Akibat yang timbul seringkali terlalu mahal harganya hanya karena tidak mau bertanya.

Kurang berkembangnya budaya tanya ini merupakan masalah komunikasi. Termasuk, komunikasi antara nasabah dan bank. Betapa banyak masalah perbankan yang timbul hanya karena silaturahmi dan jalinan komunikasi yang longgar.


“Kok bisa, Mas Ndoet? Termasuk munculnya kredit bermasalah? Apa contohnya?,” Bang Sinaga mencecar saya dengan pertanyaan-pertanyaannya yang kritis.


“Bagus, Bang. Kalau Abang banyak bertanya, itu berarti iklim bertanya antara kita sudah kondusif. Hehe….” Saya lihat mimik Bang Sinaga berubah manyun.


“Sialan kau ini!” kata dia dalam logat Batak-nya.


DISHARMONI
Kemudian saya jelaskan. Kelancaran komunikasi menjadi salah satu faktor kunci keberhasilan kerjasama antara bank dengan nasabahnya. Termasuk dalam hal kredit. Banyak contoh disharmoni komunikasi tanya yang menimbulkan masalah, baik dari pihak bank maupun pihak debitur.

Contoh konkritnya, adalah kesalahan analisa kredit. Banyak hal yang perlu diketahui pejabat kredit hingga pada akhirnya harus membuat keputusan. Salah satu metode paling efektif adalah bertanya. Menanyakan kepada debitur tentang kondisi usaha yang ada, keperluannya, prospek bisnisnya, hingga menanyakan keluhannya terhadap bank selama ini.

Bertanya, bahkan tidak saja harus dilakukan kepada debitur an sich. Pejabat kredit bisa melengkapi argumentasi dalam pengambilan keputusannya dengan bertanya kepada orang yang ahli dalam suatu jenis usaha, bertanya kepada rekanan debitur sebagai bentuk crosscheck akan kebenaran informasi yang ada, bertanya kepada pejabat kredit lain yang pernah melakukan analisa sejenis, dan sebagainya. Jika itu tidak dilakukan, bukan tidak mungkin akan terbit keputusan yang salah.


“Contoh lain?” Bli Wayan tampak belum puas dengan ilustrasi yang saya berikan.
“Contoh lain, dalam perjalanan kredit,” jawab saya.

Seorang peminjam kebingungan lantaran kesulitan membaca berbagai laporan transaksi yang diperolehnya secara tertulis dari bank. Tapi, nasabah ini tidak mau bertanya ke petugas bank. Walhasil, dia sendiri kesulitan mengontrol cash flow alias arus keuangannya. Efeknya, beberapa kali debitur kebakaran jenggot karena harus membayar bunga di atas perkiraannya.”


Saya tambahkan gambaran terakhir tadi kepada teman-teman perumahan yang sedang berkumpul di balai kampung ini, dengan case yang lain lagi.


“Pernah tiba-tiba, seorang debitur tak bisa membayar kewajiban-kewajibannya. Setelah ditelusuri, dia ternyata punya masalah dalam bisnisnya. Payahnya, dia nggak mau bertanya kepada orang lain yang lebih pintar, atau bahkan menanyakan kemungkinan solusinya masalah kreditnya ke bank. Akhirnya, ya nunggak lah, itu kredit!” cerita saya.
“Lho, kalau seperti itu, pihak bank juga salah dong! Kenapa bank nggak secara kontinyu menanyakan atau bahkan memeriksa kondisi usaha si nasabah?” protes Uda Mail dengan nada yang agak tinggi.


“Uda benar. Tapi, inti dari apa yang saya sampaikan adalah, bahwa bertanya ternyata merupakan sesuatu yang penting dan sangat bermanfaat, meskipun seringkali orang memandangnya sebagai sebuah kesepelean,” kata saya.


Bli Wayan, Uda Mail dan Bang Sinaga manggut-manggut tanda mengerti.

Selanjutnya saya katakan kepada mereka, bahwa pembicaraan masalah kemauan bertanya harus meluas kepada masalah komunikasi lainnya. Mengeluh, bercerita, bertegur sapa, saling menanya kabar, olahraga bersama, memberi perhatian-perhatian khusus dalam event-event tertentu seperti ulang tahun, launching produk dan sebagainya, merupakan bentuk komunikasi lain yang harus dikembangkan sebagaimana kebiasaan dan keberanian bertanya. Karena dengan komunikasi yang terjalin baik, potensi terjadinya masalah akan dapat direduksi.


Berkaitan dengan masalah komunikasi ini pula, ada satu lagi faktor kunci. Yakni : kepercayaan dari kedua belah pihak. Dalam konteks kredit, antara bank dan debitur harus memiliki rasa saling percaya. Bank harus percaya bahwa debitur senantiasa bermaksud baik atas usaha dan pelaksanaan kewajibannya, di sisi lain debitur harus percaya bahwa bank akan siap membantu manakala terjadi masalah atau keluhan dalam perjalanan usaha dan perjalanan kreditnya.


Tanpa kepercayaan, mana mungkin pengusaha akan leluasa berbagi rasa dengan krediturnya? Jika benak petugas bank hanya dijejali kecurigaan –bukan kewaspadaan–, adalah sebuah utopia untuk mengharapkan adanya kerjasama dan pola pembinaan yang baik.


“Nah, contoh paling dekat, terasa tidak, kalau kita bertambah wawasan dan pengetahuan dengan saling bertanya setiap ngumpul di balai kampung ini?” tanya saya. Bli Wayan tersipu. Uda Mail tersenyum simpul. Sementara Bang Sinaga terus saja manggut-manggut.
“Bener juga, Mas. Kita banyak ngerti soal bank karena rajin bertanya ke Mas Ndoet. Dan untungnya, Mas Ndoet baik banget sama kami…,” kali ini Bli Wayan yang bicara.

Giliran saya yang tersipu malu…. sialan! n


Fajar S Pramono, kolumnis, yang juga manajer pemasaran di sebuah bank pemerintah. Penulis Buku ‘Strategi Mendapatkan Pinjaman Bank’


BINANGKIT Ray. Rahayu Lestari, S.H.

Bisnisnya Berawal dari Kebutuhan Pribadi


SEKIRA 1.000 pelanggan terdaftar sebagai anggota di spa yang diberi nama sama dengan nama dirinya, anggota aktifnya sekira 600 orang. Mereka dilayani oleh delapan terapis yang siaga sejak pukul 8.00 hingga 21.00 WIB. Daerah jangkauan terapis terampil ini bukan saja seputar Kota Bandung. Ayu mengerahkan para terapisnya hingga ke Lembang, Cimahi, hingga Padalarang.


Para terapis ini tidak dilepas begitu saja. Mereka diantar oleh para pengendara sepeda motor yang disebut motoris. Karena umumnya perawatan dilakukan dalam waktu sejam atau lebih, setelah mengantar ke rumah pelanggan para motoris ini kembali ke "pangkalan" Rahayu di daerah Buah Batu. Para terapis dijemput kembali setelah usai melaksanakan tugasnya.


Konsep sistem panggilan untuk perawatan diri yang ditawarkan Ayu --panggilan akrab Rahayu-- mungkin bukan yang pertama. Di Bandung, beberapa pemijat biasa melakukannya dari rumah ke rumah. Mereka tidak hanya melakukan pijat untuk relaksasi. Atas permintaan pelanggan, para pemijat ini juga menyanggupi melakukan luluran atau body scrub. Akan tetapi, sifatnya masih perorangan dan lebih mengutamakan pelayanan memijat. Secara terorganisasi serta menitikberatkan pada perawatan kecantikan, tampaknya Ayu memang perintisnya.


Kendati di rumah, Ayu yang kini single parent ini mengusahakan para pelanggannya merasakan perawatan selengkap-lengkapnya seperti jika melakukan di tempat spa, salon, atau hotel. Ayu membekali para terapisnya alat-alat yang nyaris lengkap. Namun, untuk perawatan body steam atau pemanasan tubuh agar pori-pori terbuka dan menyerap wangi, para terapis hanya membawa alat pemanas, minus penutup tubuh dari plastik yang berukuran tebal. Sebagai pengganti ruang sauna, tubuh pelanggan diselubungi sarung, dan di bawah kursi yang didudukinya diletakkan alat pemanas.


**


KENDATI konsep pelayanan adalah panggilan dari rumah ke rumah, namun kini Ayu terpaksa mendobrak konsep awalnya. Ia menyulap garasinya menjadi ruang perawatan bagi pelanggan yang enggan melakukan program spa di rumah sendiri.


Rupanya, kendati banyak orang menyukai konsep home beauty spa, beberapa pelanggannya tetap merasa merawat diri "jauh dari rumah" lebih nyaman. Alasan umum yang dikemukakan pelanggan adalah begitu banyak gangguan di rumah saat melakukan relaksasi, mulai dari rengekan anak, telefon rumah yang berdering, tamu yang tak diundang, dan sebagainya.


Atas permintaan pelanggan, Ayu kemudian membuka dua kamar pribadi di rumahnya. Tetapi ketika permintaan meningkat, terpaksa ia menambah ruangan lagi. Walaupun lahan di rumah Ayu terbilang masih luas, namun Ayu tetap ingin mempertahankan keasrian taman rumahnya. Dengan cerdik, ia menyulap garasinya menjadi empat ruang yang disekat kain gordin bernuansa etnik. Pukul delapan pagi, Ayu mengeluarkan mobilnya, sementara para karyawannya menurunkan tirai penyekat membagi ruangan garasi menjadi empat kamar. Pukul 21.00 WIB, saatnya Ayu dan para karyawannya menarik tirai ke atas, membereskan tempat tidur, dan memasukkan mobil ke garasi. Walaupun fungsi utama adalah garasi, namun pelanggan yang tak diberi tahu tak akan menyangka karena lantai kamar relatif bersih dan apik.


Ayu menyadari betul jenis bisnis yang dijalaninya adalah bisnis pelayanan. Artinya, pelayanan yang diberikan harus mampu membuat pelanggannya puas. Oleh sebab itu, Ayu menyiapkan karyawan-karyawannya dengan sebaik-baiknya. Di bagian administrasi, operator telefon memberikan informasi dengan nada ramah, siap membantu keinginan pelanggan.


"Terapis pun tidak hanya diajari keterampilan teknis seperti memijat, melulur, atau totok wajah. Attitude merupakan hal yang benar-benar harus diperhatikan juga," kata Ayu. Pertimbangan Ayu, penampilan yang meliputi kerapian, kebersihan, dan keramahan para terapis menjadi salah satu pendukung pelanggan untuk mendapat kenyamanan.


Apa yang diminta Ayu memang dijalankan secara serius oleh para terapis. Awal pertemuan dengan pelanggan, semua terapis memberikan senyum termanisnya. Saat melakukan tugas, mereka sigap menjawab pertanyaan klien, namun tetap tinggal diam jika tidak ditanya, khawatir menciptakan obrolan yang tak diharapkan pelanggan yang tak ingin terusik kenyamanannya saat dirawat.


Untuk mendapatkan keterampilan secara teknis dan perilaku, Ayu memanfaatkan jasa training dari sebuah produk dan tempat pelayanan kecantikan ternama di Indonesia. Sebelum menjadi terapis, karyawan masuk dalam program pelatihan selama tiga bulan.


Secara tegas Ayu membuat peraturan bahwa bisnisnya hanya ditujukan bagi kaum perempuan. "Namun, terkadang ada istri yang meminta agar kami juga melakukan pemijatan untuk suaminya. Permintaan ini akan kami penuhi jika sang istri juga berdampingan dengan suami melakukan hal yang sama," tutur Ayu.


Praktik bagi pasangan ini dilakukan Ayu untuk menjaga citra pelayanannya. Ia tidak memperbolehkan terapisnya melakukan perawatan pada laki-laki yang tidak didampingi oleh istrinya.


**


BISNIS Ayu adalah cita-citanya yang tercapai. Sejak kecil Ayu yang berdarah Keraton Solo ini sudah akrab dengan segala macam racikan untuk perawatan tubuh. Salah seorang budenya, Prof. Gayatri, adalah produsen racikan perawatan tubuh yang diambil dari kekayaan alam Indonesia.


Untuk perawatan tubuh pelanggannya, Ayu meracik ramuannya sendiri seminggu sekali, dari mulai jamu-jamuan, aromaterapi, bahan luluran, dan sebagainya. Ia menggunakan racikan segar yang tidak diawetkan. Terkadang racikan untuk pemakaian satu minggu harus dibuat ulang setelah 3 hari, karena habis dipakai pelanggannya yang kian menyemut.


"Selain itu, banyak juga pelanggan yang membeli produk racikan saya, sehingga lebih sering habis," kata Ayu sambil tertawa. Tak jarang Ayu mengirim produk racikannya ke daerah-daearah pelosok di Indonesia seperti Papua.


"Pelanggan dari jauh ini biasanya menggunakan jasa terapis Rahayu saat berkunjung ke Bandung, eh terus ketagihan. Karena jauh, mereka memutuskan untuk minimal memakai produk buatan Rahayu saat pulang ke daerah asal," ujar Ayu.


Ke depan, Ayu merencanakan membuat massal produk perawatan kecantikannya. Bukan soal tak puas dengan penghasilan yang sudah lumayan besar dari bisnisnya ini, melainkan lebih pada ketidakpuasan Ayu melihat ramuan impor yang merajalela di negeri ini.


"Padahal, kekayaan rempah dan tanaman obat kita luar biasa. Saya terobsesi untuk membuat racikan perawatan kecantikan dari tumbuhan asli Indonesia yang amat kaya ini," kata Ayu yang juga selalu sibuk mencoba-coba mencari penemuan yang pas untuk perawatan kecantikan perempuan Indonesia. Produk andalan Ayu sendiri adalah paket pelangsingan tubuh.


Semua ini dilakukannya di sela-sela waktunya mengurus putra tunggalnya Aldan (5) dan menyelesaikan kuliah notariatnya di Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung. Ya, berbisnis dan saat ini bekerja pula sebagai agen asuransi di dua tempat, tampaknya belum cukup bagi perempuan gesit ini. Jika tak ada aral melintang, beres kuliah notariat, Ayu akan mempraktikkan ilmunya sebagai notaris. "Tapi bisnis perawatan ini tentu saja tidak akan saya lepas. Ini adalah cita-cita saya sejak kecil," kata Ayu menegaskan.


Lucunya, setelah memiliki tempat spa sendiri, Ayu malah jarang melakukannya pada diri sendiri. "Sekarang malah nggak sempet he..he..he," ujarnya. (Uci Anwar)***


Waroeng Legenda

Makan Sambil Berekreasi di Tengah Sungai Musi


Seiring perubahan gaya hidup di kota-kota yang semakin kompleks menjadikan konsumen pun makin menuntut pelayanan yang kompleks pula. Hal ini sejatinya memberikan peluang kreatifitas usaha yang hampir tiada batas.


Ambil contoh soal pemenuhan kebutuhan akan relaksasi di satu sisi, digabungkan dengan kebutuhan makan. Logikanya siapa tidak butuh hiburan dan makan? Kini wajar bila persoalan mengisi perut dengan keinginan menikmati suasana yang menghibur membuat banyak tempat makan tidak hanya menyajikan hidangan yang enak-enak an sich tetapi plus hiburan dan rekreasi. Konsep ini ini begitu digandrungi dan cepat populer.


Fenomena itu sudah merembet hingga ke daerah-daerah yang jauh dari ibukota dan tidak sedikit pengusaha lokal yang meraih sukses dari jasa makanan sekaligus hiburan tersebut. Bila singgah ke Palembang, Anda akan menjumpai sebuah warung makan terletak di tengah aliran Sungai Musi. Lokasinya strategis, persisnya di hulu dekat jembatan Ampera atau seberang Benteng Kuto Besak, sebuah kawasan wisata daerah yang cukup terkenal.


Kalau keberadaannya sebenarnya sudah cukup lama, namun dikarenakan pengelolaannya biasa-biasa saja maka masyarakat menjadi kurang berminat,” tutur Manager Operasional Waroeng Legenda, Fauziah.


Sebuah peluang yang sayang buat dilewatkan ini mengundang minat pengusaha daerah bernama Hendarmin untuk mengelola tempat tersebut secara profesional. Investasi yang dikeluarkan kurang lebih sekitar Rp 650 juta untuk membuat bangunan di atas perahu rakit. Terdapat lima buah bangunan, sebuah diperuntukkan sebagai dapur, satu bangunan untuk kantor dan mushala, dan tiga buah bangunan lainnya sebagai ruang operasional.


Masih ada investasi tahap kedua sehingga total sekitar Rp 850 juta, terutama untuk pengembangan lokasi dan pengadaan sarana angkutan. “Untuk penyeberangan kami sediakan dua buah getek (red-perahu motor) sebagai sarana antar-jemput tanpa dipungut biaya,” tambah Fauziah.


Sedangkan konsep baru yang diusung yaitu menyajikan hidangan masakan khas Palembang tempo dulu, di antaranya seperti aneka menu masakan pindang, brengkes, olahan ikan patin, dan lain-lain. Menu favorit pengunjung disebutkan oleh Fauziah biasanya pindang dan juga tempoyak (red-sambal durian). Sementara itu secara resmi pembukaan dilakukan pada tanggal 31 Desember 2005 dengan jam buka sejak pukul 08.00-24.00. “Sebenarnya sudah mulai buka sejak bulan Juli 2005 tetapi belum diperuntukkan bagi umum, misalnya untuk menjamu tamu-tamu daerah,” imbuhnya.


Begitu tempat baru itu dibuka, seperti dituturkan, masyarakat daerah menyambut dengan sangat antusias apalagi dengan harga yang cukup bersahabat. Harga menu berkisar antara Rp 15 ribu-Rp 17,5 ribu. Sebagai sarana hiburan terdapat pertunjukan live musik yang dimulai pada pukul 19.00 hingga tutup. Meskipun pada awalnya sempat timbul kekhawatiran harga yang dibanderol cukup mahal. Tetapi lambat-laun masyarakat semakin banyak yang tahu, meski pihak Waroeng Legenda tidak melakukan promosi secara langsung. Promosi hanya didasarkan pada words of mouth (buah bibir) dari para pelanggan.


Meskipun tidak menyebutkan angka pasti jumlah rata-rata pengunjung setiap hari, tetapi dikatakan Fauziah, tiap akhir pekan warung terapung itu selalu penuh dari pagi hingga malam hari. Malah tidak jarang pembeli terpaksa tidak kebagian tempat apabila tidak booking terlebih dahulu. Tetapi mereka cukup bersabar berdiri dalam antrean panjang untuk menunggu perahu jemputan. “Masyarakat merasa senang dapat makan sambil menikmati keindahan tempat wisata,” tukas Fauziah.


Padahal seperti diakui oleh lulusan Universitas Bina Dharma, Palembang itu, sudah sejak lama daerah di sekitar Benteng Kuto Besak dikenal sebagai daerah sangar yang rawan kejahatan lebih-lebih pada malam hari. Hal ini kerap mengakibatkan calon pengunjung khawatir akan keselamatan kendaraan saat ditinggal menyeberang. Namun saat ini oleh pemerintah kota bagian depan musium Pariwisata telah dibersihkan serta dibangun taman wisata pelabuhan di sisi kanan. Selain itu terdapat petugas satpol yang bertugas selama 24 jam.


Kendala yang hingga saat ini belum dapat diatasi tidak lain justru yang diakibatkan oleh faktor alam,” jelasnya. Setiap kali terjadi angin dan ombak besar, kondisi tersebut kurang menguntungkan karena pengunjung akan takut dan enggan naik perahu di sungai. Pada saat seperti itu otomatis kegiatan operasional terpaksa dihentikan sementara waktu menunggu cuaca membaik.


Kejadian di atas, seperti diungkapkan, sejauh ini tidak terlalu menjadi permasalahan karena biasanya telah dapat diperkirakan sebelumnya. Yang menjadi perhatian pengelola saat ini adalah memikirkan rencana pengembangan usaha. “Jika tempat usaha diperluas dengan bangunan baru, maka pengunjung akan terlalu jauh berjalan,” ungkap Fauziah.


Alternatifnya barangkali mencari lokasi baru di bagian hilir atau di seberang jembatan,” imbuhnya.


Tetapi di samping itu upaya yang kami lakukan adalah dengan meningkatkan kualitas pelayanan,” ujar lajang yang telah ikut bekerja sejak awal pendirian Waroeng Legenda. Contohnya dengan menyediakan makanan pembuka khas Palembang yang boleh dinikmati secara cuma-cuma. Mereka juga memilih pasokan ikan dari hasil tangkapan nelayan untuk diolah ketimbang ikan hasil budidaya di kolam atau tambak.


Soalnya pembeli mengaku lebih suka mengkonsumsi ikan patin liar, menurut mereka rasanya lebih gurih,” katanya.


Berbicara tentang makanan, rasa boleh jadi sama akan tetapi suasana membuat seolah-olah berbeda. Tidak hanya asli wong kito yang begitu menikmati pengalaman ketika menyantap hidangan sambil menikmati megahnya jembatan Ampera yang membelah sungai. Akan lebih indah pada malam hari, hiasan lampu yang berwarna-warni sepanjang jembatan terpantul di atas perairan membuat serasa sedang berada di dunia lain layaknya. Demikian pula tentu masih banyak tempat lain yang serupa, sayang apabila potensi sebesar itu tidak dimanfaatkan.[pengusaha/wiyono]

Natural Catering Berkembang Karena Jejaring


Jaringan yang dibangun Fatmah Bahalwan sewaktu menjadi sekretaris eksekutif di sebuah bank, dijadikan pendongkrak kemajuan Natural Catering.


Krisis moneter (krismon) yang melanda Indonesia pada 1997–1998, berdampak luas pada semua kalangan. Salah satu dari mereka yang terkena imbas krismon ini adalah Fatmah Bahalwan, pengusaha katering, pemilik mailing list (milis) Natural Cooking Club (NCC), sekaligus pengajar kursus masak dan pembuatan kue. Saat itu, mantan sekretaris eksekutif sebuah bank di kawasan Sudirman, Jakarta Selatan, ini dihadapkan pada gaji kantor yang semakin lama semakin tidak mencukupi dan karir yang mentok, sehingga ia merasa harus putar otak. Dengan keahliannya berkutat dengan bumbu-bumbu dapur, Fatmah memutuskan untuk berjualan kue ke rekan-rekan kerja dan pimpinannya.


Eh, kok laku dan berkembang. Lalu, saya mencari identitas dan saya temukan kesimpulan bahwa usaha makanan kagak ade matinye. Buktinya, dari berjualan kue hasil dapur saya sendiri yang semula hanya empat loyang, berkembang menjadi ratusan loyang. Bahkan, pada akhirnya, saya mengembangkannya menjadi usaha katering untuk event-event khusus. Kondisi ini memantapkan saya untuk berhenti kerja pada 2004,” katanya.

Sebelum usaha yang dinamai Natural Catering (merek ini mengacu pada masakan dan kue yang sesedikit mungkin menggunakan bahan kimia dan halal atau tanpa alkohol, red.) ini, menancapkan kukunya dalam kancah bisnis makanan, perempuan berusia 43 tahun ini merintis usaha tersebut sambil terus bekerja yaitu dengan membentuk pasar dan menciptakan jaringan pemasaran yang menyenangkan.


Sebagai sekretaris eksekutif, otomatis saya berteman dengan sesama sekretaris selevel. Perlu diketahui, sekretaris adalah penentu makanan di berbagai kegiatan kantornya. Melalui teman-teman saya itu, kami berbagi info, termasuk saling menawarkan makanan hasil karya kami sendiri. Jadi, pekerjaan beres, jualan lancar,” jelas perempuan yang suatu saat ingin memiliki culinary school ini.

Di samping membangun bisnis katering dengan modal Rp50 juta yang ditanamkan secara bertahap, pada tahun 2004, Fatmah membentuk NCC. Saat ini Milis ini memiliki lebih dari 3.000
member. “Di sini, saya memberikan semangat kepada para member dan mereka yang ikut kursus bahwa cuma dengan memasak dan membuat kue, kita bisa mencetak uang. Hasilnya, banyak member NCC yang akhirnya menjadi pengusaha makanan dan kue, tanpa keluar rumah,” ujar wanita yang juga menjadi penulis tetap tentang kuliner di salah satu media online ini.


Fatmah juga mengajarkan kursus memasak dan membuat kue setiap Sabtu dan Minggu, dengan biaya Rp150 ribu-Rp500 ribu per orang. “Untuk tingkat dasar saya batasi hingga 25 orang dan untuk
cake decorating maksimal 15 orang per kursus. Dari setiap kursus, saya bisa mendapatkan Rp3 juta. Sedangkan untuk omset, rata-rata saya meraup 15 juta/bulan,” kata Fatmah yang peralatan kursusnya kini dibantu sponsor.


Komentar keluarga? “Waktu saya menjalankan bisnis ini sambil bekerja, suami sempat komplain. Saya terima komplainnya dengan menunjukkan hasil uplek (sibuk) Nasaya di dapur, pada akhir bulan. Setelah melihat hasilnya, suami sangat mendukung. Anak-anak juga sempat komplain, karena justru pada akhir pekan, saya sibuk luar biasa. Tapi, saya mengganti waktu dengan mereka pada hari-hari lain. Jadi, nggak ada masalah lagi,” ucap ibu tiga anak ini. [pengusaha/russanti lubis]

Memetik Fulus Dari Jambu Air Degus


Sebagai varietas unggul baru, jambu air degus belum banyak dibudidayakan. Padahal jambu degus rasanya manis, kesat, dan daya tahan hidupnya lebih tinggi. Bahkan bisa dibudidayakan di dalam pot.


Jambu air (eugenia aquea burm) merupakan tanaman buah yang berasal dari Indocina dan Indonesia, yang lantas menyebar ke Malaysia dan pulau-pulau di Pasifik. Buah manis nan segar ini tumbuh dan berproduksi ideal di dataran rendah hingga medium. Selain itu, buah tak berkulit ini memiliki beberapa varietas, seperti jambu air camplong yang banyak dibudidayakan di Madura, jambu air dharsono (sebagian menyebutnya dersana), dan jambu air gelas (Kediri). Sedangkan jambu air degus merupakan“saudara” mereka yang kini dibudidayakan di Pasuruan.


Jambu air degus yang memiliki bentuk buah seperti lonceng tambun ini merupakan salah satu jenis buah-buahan yang dapat tumbuh di berbagai iklim dan jenis tanah. Bahkan, bisa tumbuh di lingkungan yang cukup berat di mana tanaman lain sudah tidak mampu bertahan. Di samping itu, sebagai varietas unggul, jambu yang berwarna merah tua kehitaman ini mudah beradaptasi, mudah dikembangbiakkan, responsif terhadap pemeliharaan intensif, serta berasa manis, segar, dan lebih kesat.

Namun, keberadaan jambu yang memiliki kandungan air 89,4%, kandungan gula 9,0%–9,2%, dan kandungan vitamin C 1,99 mg ini, sampai saat ini masih sebatas digunakan sebagai buah segar untuk dikonsumsi langsung. Selain itu, jambu air degus sejauh ini hanya dapat dijumpai di Pasuruan.


Sebenarnya, jambu air degus terdapat di beberapa daerah lain, di samping Pasuruan. Tetapi, belum dibudidayakan secara intesif sesuai dengan baku teknis. Karena itu, Pemerintah Kota Pasuruan melalui Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan berinisiatif membudidayakan tanaman ini dengan menggunakan bibit yang bermutu atau berlabel,” kata Harry Tjahjono, Kepala Sub Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kota Pasuruan, Jawa Timur. Sekadar informasi, Balai Induk Hortikultura Kota Pasuruan menyediakan bibit jambu air degus dengan harga Rp 10 ribu/batang.


Apa lagi, Harry melanjutkan, pada prinsipnya tanaman ini dapat ditanam di mana pun dengan mempertimbangkan faktor-faktor, antara lain kesesuaian agroklimat atau iklim, ketinggian tempat (4–400 m di atas permukaan laut), jenis tanah (subur dan gembur), ketersediaan unsur hara (kandungan vitamin-vitamin dalam tanah, red.), serta sarana dan prasarana lain. Keterangan lebih lanjut tentang hal ini, silahkan lihat boks 1 dan 2.


Tahun ini, Harry menambahkan, telah dilakukan penanaman bibit jambu air degus sebanyak 1.000 batang yang didistribusikan ke beberapa wilayah kecamatan di Pasuruan, tapi belum merata. “Karena itu, tahun 2007 nanti rencananya akan menanam 3.000 bibit di wilayah Pasuruan,” ucapnya.


Mengapa hal ini dilakukan di Pasuruan? “Kami ingin memperkenalkan kepada masyarakat Pasuruan bahwa jambu air degus yang dapat dikembangbiakkan baik di area pertamanan maupun di dalam pot dengan hasil yang sama baiknya, berpotensi memacu usaha peningkatan produksi dan memberikan peluang usaha, di samping meningkatkan gizi masyarakat serta pendapatan petani dan masyarakat. Bukan cuma itu, pengembangan jambu air degus ke depannya juga berguna sebagai produk unggulan di bidang hortikultura, sekaligus mendukung pengembangan agrowisata secara terpadu,” imbuhnya.


Lebih jauh lagi, Harry melanjutkan, maksud dan tujuan dikembangkannya jambu air degus di Pasuruan yaitu untuk menumbuhkembangkan sentra-sentra komoditi hortikultura jenis buah-buahan yang nantinya akan menjadi produk unggulan, memanfaatkan lahan baik yang non mapun yang produktif menjadi lahan yang mempunyai potensi untuk memberikan peluang usaha dalam upaya peningkatan pengetahuan, ketrampilan, dan pendapatan petani dan masyarakat, mewujudkan program jangka menengah Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kota Pasuruan yaitu memiliki wilayah agrowisata secara terpadu. Nah, selamat bertanam!


CARA BERTANAM JAMBU AIR DEGUS
Pembudidayaan jambu air degus dapat dilakukan baik melalui tabulapot (menggunakan media tanam berupa pot, red.) maupun tabulakar (langsung di areal pekarangan, red.). Pembudidayaan model tabulapot cocok diterapkan di daerah-daerah perkotaan dengan penduduk padat, sehingga tidak tersedia lahan yang luas. Sedangkan tabulakar cocok dilakukan pada areal lahan yang luas dan terbuka.


Jambu air degus yang ditanam ala tabulakar cenderung tumbuh lebih cepat dan lebih besar, karena ketersediaan unsur hara dalam tanah yang lebih banyak daripada model tabulapot. Di samping itu, jumlah buah yang muncul juga lebih banyak dalam tabulakar dibandingkan dengan tabulapot, meski secara berkala dilakukan pengguntingan. [pengusaha/
russanti lubis]

UNTUK BERTANAM DALAM POT:

1. Siapkan pot yang sesuai dengan pertumbuhan tanaman buah degus berukuran diameter 40–60 cm. Lalu, buat lubang di bagian bawah pot.

2. Pada dasar pot, taburi atau tempatkan pecahan genting, batu bata, atau bahan lain yang mudah menyerap air.

3. Masukkan media tanam berupa campuran tanah, pupuk kandang atau kompos, dan sekam padi dengan perbandingan masing-masing satu bagian. Dapat pula menggunakan media lain yang sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan tanaman dan mudah diperoleh di daerah yang bersangkutan. Masukkan media tanam tersebut ke dalam pot sebanyak duapertiga tinggi pot. Selanjutnya, siram media tanam tersebut dengan air secukupnya.

4. Buat lubang kecil seukuran media benih. Buang polibag atau keranjang benihnya dengan hati-hati, agar tidak merusak tanah yang terbawa benih sekaligus menghindari stressing benih setelah ditanam dalam pot. Kemudian, pasang ajir (bambu penanda lokasi penanaman, red.) sebagai penyangga tanaman dan ikatlah dengan tali.

5. Sirami setiap hari dengan air secukupnya sampai tanaman tersebut tumbuh dan beradapatasi dalam pot.



BERTANAM LANGSUNG DI TANAH (PEKARANGAN ATAU TEGALAN):

1. Buat lubang tanam dengan ukuran 60x60x60 cm. Pisahkan masing-masing setengah bagian tanah atas dengan yang bawah, pada saat melakukan penggalian lubang tanam.

2. Biarkan lubang tanam tersebut terbuka selama 2–3 minggu untuk menghilangkan keberadaan gas beracun, bibit penyakit dalam tanah, atau organisme pengganggu tanaman lainnya yang berada dKembalikan setengah bagian tanah bawah terlebih dulu ke posisi semula pada lubang tanam di bagian bawah. Lantas, campuri setengah bagian tanah atas dengan pupuk kandang atau kompos sebanyak tanah bagian atas tersebut. Dapat pula ditambahkan pupuk NPK. Selanjutnya, kembalikan setengah bagian atas tanah ke dalam lubang tanam dan biarkan menggunung. Sirami dengan air secukupnya dan biarkan selama 3–5 hari agar pupuk anorganik sebagi pupuk dasar bisa larut ke dalam tanah.

3. Kembalikan setengah bagian tanah bawah terlebih dulu ke posisi semula pada lubang tanam di bagian bawah. Lantas, campuri setengah bagian tanah atas dengan pupuk kandang atau kompos sebanyak tanah bagian atas tersebut. Dapat pula ditambahkan pupuk NPK. Selanjutnya, kembalikan setengah bagian atas tanah ke dalam lubang tanam dan biarkan menggunung. Sirami dengan air secukupnya dan biarkan selama 3–5 hari agar pupuk anorganik sebagi pupuk dasar bisa larut ke dalam tanah.

4. Sehari menjelang tanam, buat lubang kecil seukuran benih jambu air degus pada gundukan galian tanah.

5. Lepaskan polibag secara hati-hati agar tidak merusak media tanah dan mencegah stagnasi benih yang akan ditanam.

6. Masukkan benih ke dalam lubang dengan kedalaman sebatas leher akar, timbun, dan padatkan secara perlahan.

7. Setelah benih ditanam, sirami dan pasang ajir di sisi tanaman dan ikat dengan tali yang lunak.

8. Sirami setiap hari hingga tanaman tumbuh dan beradaptasi di lahan pertanaman yang baru.

YANG HARUS DIPERSIAPKAN

Hal-hal yang harus dipersiapkan untuk membudidayakan jambu air degus yaitu:

  1. Menentukan lahan

  2. Media tanam

  3. Peralatan dan bahan:

    1. cangkul

    2. sabit

    3. tali

    4. hand sprayer (alat untuk menyemprot hama tanaman, red.)

    5. pupuk organik

    6. pupuk anorganik

    7. pestisida

    8. gunting pangkas

Entrepreneur Daily

Franchises

E-Business

Sales and Marketing

Starting a Business