Pekerjaan oleh Careerjet

Peluang Usaha dan Bisnis 2008

Wirausaha.com

Tempointeraktif.com - Ekonomi

Dinas Peternakan Jabar

Rabu, 25 Juli 2007

Bisnis Game Center Berprospek Moncer

Seturut kemajuan teknologi, game pun mengalami perkembangan pesat. Dalam tahun-tahun mendatang bisnis ini masih akan terus melejit.


Anggapan bahwa industri game adalah sekadar bisnis anak-anak agaknya sedikit demi sedikit harus dikikis. Angka pasti sebagai sebagai data pendukung faktual memang belum didapatkan, tetapi fenomena perkembangan dalam bisnis ini mudah diraba. Merebaknya penyedia fasilitas permainan elektronik digital ini mulai dari kawasan belanja elit hingga jauh ke pelosok daerah membuktikan pasar yang makin bergairah. Konsumen sebagian besar masih terdiri dari anak-anak dan remaja, namun rentang grafik umur semakin lama semakin lebar saja. Di sisi lain jumlah pengembang dan distributor game software lokal pun mulai bermunculan.


Untuk yang disebut terakhir diakui terdapat kendala yang masih cukup mengganjal yakni masalah pelanggaran hak cipta. Sebagaimana diketahui negara kita masih nangkring di urutan atas sebagai lahan subur pembajakan setelah Cina. Namun, kembali ke atas, setidak-tidaknya warnet/
game center sebagai jalur retailer yang telah lebih dulu eksis makin mendapatkan tempatnya.

Tengok saja perjalanan Kubus (CV. Agni Biru) yang pernah kita ulas pada beberapa edisi yang lalu. Penyelenggara jaringan internet dan
game online yang bermarkas di Kota Kembang itu semula hanya menyediakan jasa rental komputer dengan modal awal sekitar Rp 6 juta. Tiga tahun kemudian layanan mulai ditambah sebagai warnet dan penyedia game online, dan memasuki tahun ke tujuh sudah memiliki lima cabang dengan rata-rata omset hampir Rp 3 milyar setahun.


“Keistimewaan
game online yaitu pemain game dapat bertanding/ berinteraksi dengan pemain yang terjangkau internet,” ujar Dadi Sugiana, Managing Director CV. Agni Biru waktu itu. Permainan melalui kompetisi secara riil secara psikologis memberikan tingkat kepuasan lebih. Lebih-lebih apabila kemudian tersedia sarana yang memiliki kelebihan akses cepat, ditambah tempat yang lapang dan nyaman dengan jumlah komputer cukup banyak. Makin ramai tentu akan bertambah asyik.


Sungguh pun begitu untuk bisa sukses di bisnis ini tentu saja tidak semudah membalik telapak tangan. Kendala umum yang biasa dialami pengusaha-pengusaha serupa, menurut Dadi antara lain adalah masalah permodalan. Cara mengatasinya dapat ditempuh melalui pendanaan
joint partner. Dalam hal ini Kubus bahkan berencana menawarkan kerja sama dengan sistem waralaba. “Prospeknya bagus sekali, karena itu saya mencobanya,” ungkapnya. “Diharapakan ada dua keuntungan dengan memilih system franchise. Pertama pengembangan usaha akan semakin cepat dan menyebar. Kedua akan semakin meningkatkan branding Kubus yang tidak ternilai,” imbuhnya.

Masalah selanjutnya yang perlu dipersiapkan, menurut pria kelahiran Ciamis tahun 1974 adalah SDM dan penentuan lokasi. Perekrutan karyawan dipilih orang yang mampu dipercaya dan melalui seleksi serta pelatihan memadai. Sedangkan pemilihan tempat setelah sebelumnya dilakukan survei dengan teliti. Cara gampang, sesuai bidikan pasarnya, paling ideal pilihlah tempat di sekitar lingkungan kampus atau sekolahan. Akan lebih baik bila terletak di jalur utama dan dilengkapi sarana parkir. Selamat mencoba! [
wiyono/pengusaha]

Bisnis Asyik Studio Musik


Banyaknya pemusik muda yang giat berlatih menjadi berkah tersendiri bagi penyewaan studio musik. Aspa Studio menangkap peluang ini.


Banyak jalan menuju Roma. Tepat disebutkan bila saat ini semakin banyak jalan menuju sukses. Bisnis hiburan saat ini telah sedemikian maju dan industri musik termasuk salah satunya. Kalau dahulu cita-cita menggantungkan hidup sebagai seniman kerap menjadi bahan tertawaan, kini sebaliknya menjadi artis banyak didamba sebagai jalan pintas keberhasilan khususnya dalam hal materi. Siapa sih orangnya tidak kepengin uang dan ketenaran sekaligus?


Faktanya pada jaman dahulu barangkali masih gampang menghafal nama-nama penyanyi atau grup band terkenal di tanah air ini. Namun sekarang hal itu jauh lebih sulit, mengingat nama-nama baru karena tiap tahun pasti muncul silih-berganti.

Menurut Andre Atriwianto, pemilik Aspa Studio, perkembangan musik Indonesia saat ini, khususnya dilihat dari banyaknya komunitas band musik anak-anak muda, sangat cerah. “Pada jaman saya dulu selalu berkiblat ke luar negeri, hanya mau menyanyikan lagu-lagu dari band-band
luar,” ujarnya.


Ia mengamati, ABG yang berlatih di studionya tidak merasa remeh membawakan lagu-lagu Indonesia yang juga diciptakan oleh band yang personilnya muda-muda. Maka secara tidak langsung itu sebagai isyarat komunitas musik telah menjamur hingga pelosok dan merupakan angin segar bagi bisnis rental studio musik sebagai ajang latihan.


Komunitas grup musik pemakai jasa rental malah dari segala usia. “Mulai anak SD sampai yang tua-tua,” tukas Andre. “Memang cita-cita dari kecil mempunyai studio musik. Sekadar hobi karena dulu juga suka nge-band. Lalu saya pikir, selama musik masih ada bisnis studio tidak pernah mati sebab selama masih ada anak-anak yang nge-band pasti mereka butuh fasilitas,” imbuhnya mengisahkan.

Investasi untuk membuat sebuah studio musik boleh dikatakan lumayan besar. Studio profesional di lokasi eksklusif jelas sangat mahal. Dana yang dihabiskan mencapai miliaran rupiah. Andre pilih membidik studio kelas menengah, meskipun tetap memperhatikan kualitas namun tidak terlalu menyedot banyak uang.


Biaya pertama kali yang harus dikeluarkan biasanya untuk renovasi tempat. Ia merogoh kocek sekitar Rp 17 juta untuk membuat tiga ruangan kedap suara, masing-masing dipakai untuk tempat latihan maupun rekaman. Untuk menekan biaya, lulusan arsitek UKI itu, merancang sendiri peredamnya setelah bertanya ke sejumlah orang yang berpengalaman. Belanja lainnya berupa alat-alat musik menghabiskan sekitar Rp 30 juta ditambah peralatan recording kurang lebih Rp 10 juta. “Penggelontoran modal tidak begitu terasa karena saya pelan-pelan mengumpulkan alat satu demi satu,” begitu kiatnya.


Soal alat pun menurutnya tidak harus kelas satu. Yang penting penataan ruangan akustik serta sound system bagus maka hasilnya pasti sudah nyaman buat latihan. Ruangan besar tetapi jika penataan sound system kurang pas mengakibatkan bunyi yang dikeluarkan akan saling berkejar-kejaran.


Sama seperti usaha lainnya, lokasi seringkali sangat menentukan. Tempat yang paling ideal tentu saja yang paling gampang diakses atau di pinggir jalan raya. “Tempat ini menurut saya cukup strategis, tidak terlalu jauh dari jalan besar, hanya masuk sedikit beda satu rumah. Jadi tidak terlalu bising dan nyaman buat latihan,” kilahnya.


Beroperasi pada pertengahan 2003, Aspa Studio awalnya hanya menyediakan sarana latihan dan baru pada tahun berikutnya bisa berfungsi sebagai studio rekaman serta ditambah jasa video shooting, baik untuk membuat video klip atau untuk keperluan dokumnetasi yang lebih umum seperti pembuatan company profile serta iklan. “Untung sebetulnya tidak terlalu besar, yang penting administrasi. Asal pembukuan beres maka semua akan beres, kalau tidak pasti hancur,” ujarnya merendah.


Tarif, dikatakan mengikuti pasaran atau Rp 30 ribu dengan hitungan jam. “Daerah sini susah memakai model shift karena yang datang umumnya anak-anak SMA dan mahasiswa,” akunya. Sedangkan recording dia pasang harga Rp 150 ribu per shift atau selama 3 jam.


“Yang lain biasanya per shift selama 6-7 jam dengan harga di atas Rp 300 ribu. Akhirnya lumayan, banyak yang datang rekaman demo untuk diajukan ke produser, manajer-manajer label musik atau pun bikin profile band untuk acara-acara tertentu,” ungkapnya.


Malah uniknya banyak rekaman diproduksi sendiri. Setelah jadi album hasilnya laku dijual di sekolahan masing-masing. Pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada menjelang natal studio ini kerap disewa untuk rekaman operet atau lagu-lagu rohani.

Namun seperti banyak studio lain, dalam seminggu umumnya ramai hanya pada tiga hari terakhir, Jum’at, Sabtu, dan Minggu. Pada sejak jam bubaran sekolah hingga malam hari penuh sesak. Hari-hari biasa sudah untung kalau terisi beberapa jam saja. Jam buka setiap hari sifatnya fleksibel meski dalam aturan tertulis antara pukul 10.00 hingga 24.00. “Tetapi kalau ada yang bertanya biasa saya jawab sampai mereka capai,” ucapnya. Bahkan dituturkan, mereka yang baru tiba pukul 24.00 pun tetap ditunggui berlatih sampai pagi.

Menariknya dibandingkan dengan bisnis lain, antar studio musik tidak bakal terjadi persaingan, lebih-lebih persaingan tidak sehat. Sebaliknya seorang pengelola studio malah merasa senang apabila terdapat beberapa lokasi berdekatan sehingga mana kala salah satu lokasi telah penuh maka yang tidak kebagian tempat dapat dicarikan alternatif di lokasi lain. “Anak-anak juga malas datang kalau tempatnya jauh,” ungkapnya. [wiyono/pengusaha]


Analisa Binis Studio Musik

PERKIRAAN INVESTASI:

- Renovasi tempat : Rp. 20.000.000,-

- Peralatan dan Sound System: Rp. 50.000.000,- +

Total perkiraan investasi Rp. 70.000.000,-

PERKIRAAN BIAYA OPERASIONAL:

- Biaya listrik : Rp. 500.000,-

- Gaji karyawan : Rp. 1.000.000,- +

Total Perkiraan biaya operasional Rp. 1.500.000,-

ASUMSI PENDAPATAN/ BULAN:
(Dengan rata-rata 5 jam latihan dan 3 jam rekaman per hari)

- ((5 X Rp 30.000,00) + Rp 150.000,00) X 30 = Rp 9.000.000,-

- LABA KOTOR : - Rp 9.000.000,- – Rp. 1.500.000,- = Rp 6.500.000,-

- KESIMPULAN :
BEP akan tercapai setelah 11 bulan beroperasi atau kurang dari setahun.

Bila Menari Bukan Sekadar Hobi

Belia, pandai menari dan pandai berbisnis, itulah Stefie Siera Ngangi. Sanggar tarinya kini telah dikembangluaskan dengan sistem kerja sama.


Salah satu keuntungan apabila suatu aktifitas, termasuk dalam kegiatan ekonomi, sudah didasari rasa suka maka segalanya terasa enteng dan mengalir tanpa beban. Seperti halnya Stefie Siera Ngangi di dalam mengelola bisnis sanggar tari. Pemilik Stefie’s Hoese of Creativity (SOHC) tersebut bahkan mengakui membuka usaha itu dengan tanpa pertimbangan macam-macam soal berapa jumlah investasi hingga penghasilan.
“Awalnya itu tanpa pikiran macam-macam, langsung buka aja. Manajemen juga dibantu orang tua. Terus modal berapa, pemasukan berapa pokoknya saya jalani saja,” ungkap gadis 19 tahun yang sedang belajar
public relation di London School semester kedua ini.
Siera belajar menari sejak umur tujuh tahun, dari tari-tarian daerah hingga tari balet. Ternyata ia merasa lebih cocok dengan tari yang terakhir. Masa SMP dihabiskan selama 1,5 tahun di Singapura dan 1,5 tahun di New Zealand, dan ditambah SMA 2 tahun di Kanada. Ia sengaja dikirim belajar oleh kedua orang tuanya ke luar negeri dengan maksud agar memperoleh pengalaman serta lancar berbahasa Inggris.

Di sanalah hobi menari itu mendapatkan penyaluran unik. Justru dengan ketrampilan itu ia banyak diminta mengajarkan tari, baik tari-tari kontemporer Indonesia maupun jenis tari lain kepada anak-anak setempat juga teman-taman sekolah selama mengikuti pertukaran pelajar. Dolar demi dolar yang ia kumpulkan itulah yang dijadikannya modal untuk membuka sanggar tari.
Sanggar pertama resmi dibuka Maret 2006 berlokasi di kawasan Cibubur dengan menawarkan bermacam-macam jenis kursus, di antaranya balet,
jazz ballet, tari daerah, seni peran, modeling, olah vokal, tari moderen, serta koreografi, baik untuk kelas anak-anak atau pun dewasa. Biaya pendidikan tidak begitu mahal, misalnya balet dengan uang pendaftaran Rp 150 ribu serta ‘SPP’ bulanan hanya Rp 175 ribu. Kurikulumnya dibuat seperti model sekolah, setiap setahun dengan ujian kenaikan tahunan sampai tamat 8 tingkat, masuk belajar 1 atau 2 kali dalam seminggu. “Kelas pasang-surut karena banyak pengaruh, antara lain anak sakit, keluar karena orang tuanya pindah, dan sebagainya serta karena sifatnya non-formal,” ujarnya.

Nyatanya perkembangan yang dicapai lumayan bagus, setelah setahun SHOC kini berkembang menjadi empat buah ditambah di Karawang, Bekasi, dan sebuah di kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan.
Menurut mantan finalis Abang & Mpok Bekasi 2006 itu bisnis yang ditekuni sejatinya tidak membidik pasar yang terlalu spesifik. Ia menduga usahanya cepat berkembang karena jenis usaha sejenis masih jarang. Sedangkan balet sendiri unik, gerakannya yang lentur sangat bagus untuk pembentukan tulang bagi anak-anak sehingga banyak yang tertarik. “Maka yang paling diminati adalah balet dan juga modeling,” akunya.
Untuk menarik minat masyarakat Siera pun kerap ikut serta di berbagai pameran, khususnya mengisi acara-acara pameran anak-anak, bazaar, dan sejenisnya. Sedangkan pada pameran berskala besar biasanya untuk mencari mitra usaha. “Jadi kita juga membuka peluang usaha berupa kerja sama bagi hasil untuk yang sudah punya tempat dan modal serta kepengin buka usaha,” ujarnya.

Calon mitra hendaknya memiliki lokasi di kawasan ramai atau banyak perumahan ditambah modal sekitar Rp 20 juta. Perjanjian kerja samanya selama 3 tahun dengan sistem bagi hasil. Sedangkan dukungan yang diberikan kepadanya berupa, guru pengajar, kurikulum, serta fasilitas-fasilitas lain seperti misalnya peserta didik diikutkan di pentas-pentas tertentu, dan juga promosi atau pameran-pameran. Sehingga akhirnya menari bukan lagi sekadar hobi melainkan juga berbisnis. Tertarik? [
wiyono/pengusaha]


Analisa Usaha Sanggar Tari (Balet)

Investasi awal minus tempat usaha : Rp 20.000.000,-

Asumsi pendapatan per bulan
(6 kelas @ 10 siswa, 3 kelas anak dan 3 kelas dewasa) : Rp 9.500.000,-

Biaya operasional per bulan : Rp 5.000.000,-

Laba bersih per bulan : Rp 4.500.000,-

Asumsi laba bersih pada akhir tahun pertama

(12 X 4.500.000) – 20.000.000 : Rp 24.000.000,-

Berburu Busana Tempoe Doeloe

Meski mencari dan menjual busana zaman baheula, butik vintage berbeda konsep dengan jual beli busana bekas. Lalu apa vintage yang di luar negeri sangat ngetren ini ?


Victoria Beckham mantan anggota group vokal spice girl yang juga istri dari David Beckham adalah salah satu selebritis yang paling mendapat sorotan media di dunia. Selebritas seperti dirinya tentu selalu mengikuti perkembangan mode dan fesyen agar tidak terlihat ndeso dalam berbusana. Namun siapa sangka ternyata seorang Victoria masih sering merasa tak percaya diri jika sedang berhadapan dengan seorang pemilik butik vintage.


Karena menurut Victoria seperti yang ia kisahkan dalam bukunya yang berjudul “That extra half an inch” tak jarang pelayan butik yang ia jumpai justru lebih fasih berbicara fesyen dibanding dirinya. Pemilik butik yang dijumpai Victoria itu tidak hanya hafal barang–barang yang dijualnya tetapi juga fasih berbicara sejarah fesyen, desainer, kualitas bahan dari merek gaun ternama yang sering dipakai artis-artis Hollywood saat ini.


Itu di Amerika, jika di Indonesia Anda boleh menemui pebisnis butik seperti Yeani Christanto (33) yang fasih bicara fashion dari A-Z. Sederet desainer ternama dari masa lalu sampai yang mutakhir, ringan saja ia sebutkan tanpa perlu lama mengernyitkan dahi. Semua yang berbau fashion seperti di luar kepala. Dunia fashion mulai digandrungi Yeani saat melalui masa remaja di Negeri Kanguru, saat itu ia rajin membaca majalah-majalah fashion seperti Vogue, yang saat itu tentu belum mudah dijumpai di Indonesia. Kegemarannya akan dunia fashion terbawa sampai ketika ia kembali ke Indonesia, sehingga meskipun telah bekerja di sebuah perusahaan periklanan terkemuka ia masih menyempatkan diri membuka butik. Bagi Yeani Vintage Couture adalah sarana menyalurkan kegemarannya menikmati perkembangan dunia fashion.

Tidak perlu riset pasar dan menghitung prospek bisnis vintage. Santai tapi pasti Yeani mendirikan butik
vintage. ia mulai mengumpulkan aksesoris dan busana lawas sambil mencari-cari lokasi di mana ia akan mendirikan butiknya. Mengapa busana lawas? Butiknya memang hanya menyediakan busana dan aksesoris “bekas” yang berumur 20 tahunan. Sebagaimana sebuah definisi barang vintage yang menurut Yeni busana atau aksesoris dapat dimasukan dalam katagori vintage jika usianya 20 tahunan lebih.

Vintage sampai saat ini memang masih terdengar asing di Indonesia tak terkecuali para konsumen dari kalangan zetset yang sering mondar-mandir belanja di butik. Memang ada risiko membawa “dagangan” dengan konsep yang masih asing. Edukasi pasar adalah pekerjaan ekstra bagi Yeani untuk mengenalkan konsep Vintage Couture.


Jika di Amerika trend berbusana
vintage populer, seiring dengan ekspose media terhadap artis –artis Hollywood yang memakai busana vintage di hadapan publik. Sebab konsep vintage menjadi gaya hidup yang tak asing dan dikenal luas. Lain halnya di Indonesia Yeani kerap berperan seperti “pengajar mode,” dengan mengenalkan konsep bekas ala vintage kepada pengunjung butiknya.” Tak jarang saya harus menjelaskan panjang lebar mengenai konsep vintage kepada pengunjung sebab banyak pengunjung yang menyamakan vintage tak ubahnya seperti pakaian bekas di toko barang bekas. Atau menganggap bahwa semua yang kuno adalah vintage,” ungkap Yeani.


Bagaimana cara Yeani mendapatkan busana dan aksesoris? Untuk memenuhi isi butiknya Yeani mengimport langsung dari estate seller ( pembeli barang antik dari gudang keluarga ) di Amerika, Inggris, dan Kanada. Menurut Yeani mitranya di tiga Negara tersebut secara rutin mengirimkan foto barang melalui email. Setelah contoh dikirim Yeani memilih barang mana yang akan ia ambil. Ketiga Negara tersebut menurut Yeani memiliki karakter barang yang berbeda-beda.”Barang dari Amerika range usia pakaiannya lebih beragam dari tahun 30-an pun ada. Kalau dari Inggris banyak model hippie, sedangkan yang dari Kanada barangnya yang high-end. seperti baju pesta dan jika casual pun barangnya bagus dan rapih,” jelas Yeni.

Dalam sebulan sedikitnya Yeani membelanjakan Rp 5 juta untuk menambah koleksi butiknya. Pesanan dikirim melalui Pos. Beberapa kali pesanan tidak sampai ketangannya. Namun resiko itu sudah disadarinya. Toh ia tetap memilih pengiriman melalui jasa pos, ketimbang pengiriman swasta lain. Dengan cara itu dana pengiriman lebih murah sehingga harga jualnya tidak terlalu tinggi. “Terkadang ongkos pengiriman lebih mahal dari harga barang pesanannya,” ungkap Yeani.


Koleksi
vintage yang dimiliki Yeani beragam dari gaun, ikat piggang sepatu boot, sepatu wanita, aksesoris seperti cameo, rhinestone, charm bracelet. Koleksi dari desainer ternama tahun 70-an seperti Bill Blass, Oleg Cassini ( desainer Jacky Cenedy) Anne Fogarty pun terpampang dengan bandrol Rp 1,6 sampai 2 juta. Untuk busana-busana casual kisaran harganya mencapai ratusan ribu. Uniknya Vintage Couture memiliki koleksi yang berumur lebih dari seratus tahun seperti sebuah pengikat dasi yang dibuat tahun 1800-an. Selain itu juga dijual barang yang di sebut “new old stock” barang tua yang masih dalam kondisi baru.

Vintage adalah gaya hidup. Sebuah kesadaran individualis dalam berbusana. Yang mementingkan eksklusifitas.para bintang Hollywood menggunakan busana
vintage karena keunikannya sehingga tak mungkin dikenakan orang lain. Sebab itu tak seperti usia busananya yang uzur penggemar vintage adalah orang yang sadar fashion, konsumennya datang kebanyakan dari kalangan ABG dan mereka yang menginjak usia 30-an. Dalam industri fashion Yeani menyebut pasar bisnis vintage adalah minoritas karena menurutnya belum banyak orang yang memahami konsep yang real vintage. ”Pasar vintage sangat kecil dibanding dengan apa yang ditawarkan industri fashion saat ini. Pasar vintage itu nest tidak mass, papar Yeani.

Dan lagi karakter konsumen di Indonesia, menurut Yeni, agak berbeda. Menurutnya banyak pembeli yang belum bisa menerima cacat yang terdapat pada barang yang dijual. Misalnya warnanya agak pudar atau terdapat sedikit lubang. “Padahal yang namanya barang
second- hand apalagi umurnya puluhan tahun tentunya kondisi barang tidak seratus persen sempurna. Kalau di luar negeri ketidaksempurnaan itu justru menambah nilai, karena terlihat nilai sejarahnya,” jelas Yeani.

Sayangnya di Indonesia masih sulit ditemukan pemilik pakaian yang bernilai
vintage dengan kondisi yang masih layak pakai. Sehingga saat ini untuk menyuplai kebutuhan butiknya, Yeani masih mengandalkan import dari luar negeri. Yeani berharap masyarakat akan melirik vintage sebagai alternatif membeli busana berkualitas yang murah namun tetap bergaya. [fitra iskandar/pengusaha]

Berawal Pahit, Berujung Manis

Homo Faber (manusia kerja) adalah sosok pasangan Waliyem-Wandiyo. Berawal dari dua sejoli transmigran yang papa, kini menjadi juragan berbagai bisnis di Kabupaten Bungo, Jambi.


Asam di gunung, garam di laut, bertemu dalam satu belanga. Itu peribahasa yang bisa menggambarkan pertemuan Waliyem yang berasal dari Sukoharjo dan Wandiyo dari Tumut, Sleman Yogyakarta. Pada tahun 1977, Waliyem berangkat ke Bungo untuk menyusul kakaknya yang terlebih dahulu menjadi transmigran sedangkan Wandiyo menyusul sang paman. Hanya berselang seminggu setelah menginjakkan kaki di Jambi, dua lajang ini pun kemudian terikat tali pernikahan.


Di tanah seberang, tanpa bekal modal dan pendidikan yang memadai tentulah kehidupan terasa sulit bagi pasangan muda ini. Namun duet duo W ini tak pernah menyerah. Sekadar menyambung hidup, Waliyem berjualan nasi bungkus di penyeberangan sungai dekat tempat tinggalnya, sementara sang suami bekerja sebagai buruh penyadap karet. Rupiah demi rupiah mereka kumpulkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan sedikit sisanya mereka tabung.


Di siang hari, selepas berjualan nasi bungkus dan menyadap karet, Waliyem dan Wandiyo pulang ke rumahnya yang kecil, pendek dan beratap seng. Gampang diduga, hawa di dalam rumah panas dan sumpek. Tetapi, justru dari rasa tidak nyaman ini timbul ide Waliyem untuk berbisnis genteng. “Kalau atapnya terbuat dari genteng, mungkin rasanya tidak akan sepanas dan segerah jika atapnya terbuat dari seng,” pikir Waliyem saat itu.
Dengan tabungan yang tidak terlalu besar dan dengan keterampilan membuat genteng dari tanah liat yang mereka peroleh sewaktu masih kecil, pasangan Waliyem-Wandiyo mencoba untuk memproduksi genteng, meskipun masih dalam skala kecil-kecilan.


Genteng hasil produksinya ini tidak serta merta bisa menghasilkan uang tunai, tetapi dibarter dengan atap seng milik para warga transmigran. Kemudian seng-seng itu baru dijual ke kota. Waliyem melihat dari fungsi kenyaman genteng jauh lebih baik, tetapi dari sisi ekonomi genteng jauh lebih murah dibandingkan seng. Dari selisih harga seng dan genteng itulah, Waliyem dan Wandiyo mendapatkan keuntungan. Dengan sabar mereka mengumpulkan keuntungan tersebut. Ketika jumlahnya keuntungannya sudah lumayan besar, maka dana itu mereka suntikkan untuk memperbesar skala usaha produksi genteng.


Secara cerdas Waliyem dan Wandiyo mengajak warga lain untuk menjadi pemasarnya. Sehingga di tiap unit desa transmigrasi di seluruh pelosok Provinsi Jambi tercatat menjadi pelanggannya. Karena tingginya permintaan, Waliyem-Wandiyo membuat pabrik genteng lagi sehingga jumlahnya mencapai 14 pabrik.


Dengan semakin banyaknya rumah para transmigran yang beratap genteng, tentu saja pasarnya semakin mengecil, tidak seperti pada saat-saat awalnya. Namun pasangan ini tak kehabisan ide. Seiring dengan membaiknya ekonomi para warga transmigran, Waliyem mulai menyasar untuk menjual bahan bangunan, karena naluri bisnisnya melihat adanya kecenderungan warga yang mulai mengganti dinding rumah mereka yang semula terbuat dari papan dengan tembok Ternyata, pilihan bisnisnya ini juga sangat jitu, toko bahan bangunannya laris manis. Tak hanya berhenti sampai di situ saja, Waliyem kemudian mengembangkan usahanya dengan menjadi pemborong untuk pembangunan rumah sekaligus mengisi mebelernya.


Seturut dinamika ekonomi para warga transmigrasi yang mulai membaik, bisnis Waliyem pun terus berkembang. Ini berkat ketajaman insting bisnis Waliyem, meski pendidikannya tidak tamat Sekolah Dasar. Setelah memiliki pabrik genteng, toko bahan bangunan dan pemborong rumah, Waliyem mulai mengembangkan lini bisnis lainnya yaitu memberikan pembiayaan bagi warga yang ingin membeli sepeda motor dan mobil. Bahkan memberikan pembiayaan kepada para pengusaha kelapa sawit dan karet. Dalam pembiayaan ini Waliyem tidak mensyaratkan adanya jaminan atau kolateral. “Yang penting jujur dan dapat dipercaya. Saya bisa maju juga karena kejujuran dan kepercayaan. Dan bagi saya pribadi, kejujuran adalah nilai yang tertinggi dalam hidup saya,” ungkap Waliyem tentang filosofi hidupnya. Lantaran tanpa kolateral ini, pembiayaan yang diberikannya diserbu para warga.

Selain itu, Waliyem juga mendirikan bengkel serta melirik bisnis perkebunan sawit dan karet. Tak kurang 67 kavling dimilikinya. Tiap kavling luas lahannya berkisar 2 hingga 20 hektar. Total jenderal lahan perkebunan milik Waliyem seluas 200 hektar. Anak buah yang mengurusi perkebunan tersebut sebanyak 52 orang, dan masing-masing masih memiliki anak buah.

Kwantitas maupun harga dari kelapa sawit maupun getah karet memang berfluktuasi. Tetapi kalau diambil rata-rata perkebunan kelapa sawitnya bisa menghasilkan 52 ton/bulan, sedangkan perkebunan karetnya 15 ton/bulan. Kalau diasumsikan harga kelapa sawit Rp 650/kg dan getah karet Rp 7000/kg maka dalam sebulan Waliyem bisa mengantongi uang Rp 33.800.000/bulan dan Rp 105 juta atau totalnya Rp 138 juta/bulan. Ini belum termasuk dari lini bisnis pabrik genteng, toko material, pemborong dan pembiayaan serta bengkel.

Meski bisnisnya sudah berkembang biak, Waliyem tetap hidup sederhana, sebagaimana awal-awal merintis usaha. Pun Waliyem tidak berubah prinsip hidupnya, karena ia menyadari dari prinsip yang kukuh ia pegang itulah bisnisnya bisa berkembang dan menjadi tumpuan ratusan karyawan dan mitranya. [
suwardi/pengusaha]


PRINSIP HIDUP DAN BISNIS WALIYEM

Sekalipun mengaku sulit merumuskan tentang prinsip hidupnya dalam kalimat yang indah, namun dengan lancar Waliyem mengungkapkan beberapa prinsip hidupnya yang ia sebut piwulang (ajaran).

- Pertama, wong wadon iku kayo dene pedaringan (wanita ini ibarat tempat menyimpan beras. Artinya, istri tidak boleh boros, dan harus bisa memilah antara kebutuhan dan keinginan. Jika hari ini rejeki yang didapatkan besar, maka hasil itu digunakan untuk mengembangkan usaha.

- Prinsip kedua, saiki kanggo sangu sesuk (sekarang sebagai bekal besok hari), hasil yang diperoleh hari ini di samping untuk menambah modal juga untuk persediaan jika terjadi kerugian bisnis atau hal-hal tak terduga.

- Prinsip ketiga, usaha lair batin (usaha lahir dan batin). Maksudnya, orang yang berusaha mencapai keinginannya harus melakukan secara fisik dan non-fisik. Usaha lahir adalah bekerja secara lahiriah, sedangkan usaha batin adalah berdoa, memohon bimbingan dan petunjuk dari Tuhan. “Usaha lahir batin juga berarti usaha yang tulus dan fokus,” tuturnya.

- Prinsip keempat, golek sedulur sing akeh, apik karo kanca (mencari saudara sebanyak-banyaknya dan berbaik hati kepada sesama kawan). Maka dalam bisnis “jangan sekali-kali menyalahi siapa pun, baik itu karyawan, mitra kerja atau pelanggan,” tandasnya.

- Prinsip kelima, yen pengin kabul kudu ngerti wong tuwa (kalau ingin terkabul cita-citanya harus berbakti kepada orang tua. Artinya, jika anak mendapatkan rejeki harus ingat kepada orang tua. Sekecil apa pun pemberian itu akan membuat orang trenyuh (tersentuh hatinya). “Orang tua akan tulus dan semakin khusyuk mendoakan anaknya,” petuah Waliyem.


Dengan lima landasan itulah Waliyem mengendalikan bisnisnya dari rumah. Semua bisnis dijalankan dengan secara mengalir begitu saja, sebagaimana air mengalir ke tempat-tempat yang lebih rendah.

Belimbing Dewi, Manis Rasanya Gede Untungnya

Meski ‘made in” lokal, harga jual Belimbing Dewi tak kalah dengan buah-buah impor. Bukan isap jempol jika belimbing manis ini bisa menghasilkan uang ratusan juta per tahun.


Tahukah Anda bila 99% kebutuhan akan belimbing, khususnya belimbing Dewi, di Eropa dipasok oleh negara semungil Malaysia? Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah negara seluas Indonesia ini tidak mampu melakukannya? Ternyata bukan itu masalahnya, melainkan sistem pemasaran belimbing dan pola berpikir masyarakat negara ini yang masih seperti katak dalam tempurung.

Secara bisnis, belimbing Dewi memiliki prospek bagus. Buktinya, buah yang disebut
star fruit oleh orang bule ini merupakan satu-satunya buah lokal yang harganya hampir menyamai buah-buahan impor. “Tidak pernah kurang dariRp10 ribu/kg!” tegas Komarudin, petani belimbing Dewi.


Di samping itu, sesuai dengan fungsinya yaitu sebagai penurun tekanan darah tinggi atau penormal tekanan darah, buah ini sudah memiliki konsumen tersendiri yakni masyarakat menengah ke atas yang dikenal pula sebagai masyarakat dengan gaya hidup ‘ngawur’ atau setidaknya yang paham betul tentang arti kesehatan.

Bukti lain,
saking ngetopnya salah satu dari sembilan varietas belimbing (sumber lain: 13 varietas, red.) tersebut, hampir semua swalayan di Jakarta lebih banyak menjual belimbing yang dikembangbiakkan untuk pertama kalinya oleh kebun bibit PT Dewi Jaya ini, dibandingkan dengan ‘kerabat-kerabatnya’.


Bahkan, belimbing dari Blitar ketika ‘masuk’ ke swalayan pun harus ‘menyamar’ sebagai belimbing Dewi, agar bisa diterima konsumen fanatiknya. Untungnya, konsumen di sini belum mampu membedakan kedua varietas tersebut dan hanya fokus pada fungsinya,” jelas pria yang biasa disapa Komar ini.

Nah, fungsi inilah yang menjadi bumerang bagi “industri” belimbing di Indonesia. Sebab, Malaysia melihat bahwa pasar belimbing bukan cuma sebatas itu atau hanya sebagai buah kudapan, melainkan juga dapat dibuat salad, minuman, dan penghias gelas-gelas minuman pada beberapa kafe atau restoran di Eropa. “Sehingga untuk menjualnya tidak perlu harus menunggu sampai matang atau membesar secara optimal. Malaysia justru mengirimkan belimbing-belimbing itu ketika masih kecil dan berwarna hijau atau masih mentah,” katanya.

Di sisi lain, dalam pemasarannya, ia melanjutkan, para petani belimbing di negara jiran tersebut dibantu secara tidak langsung oleh pemerintah. Sebaliknya, di Indonesia, pemasaran belimbing terhalang oleh tengkulak dan tidak ada campur tangan pemerintah sama sekali.


Saya pernah berusaha memotong jalur mereka dengan melalui jalan belakang. Tapi, saya terhalang lagi oleh ketidakmampuan petani belimbing memasok secara teratur ke berbagai swalayan, mengingat kebun mereka tidak cukup luas. Dari hasil pengamatan saya, untuk dapat memenuhi pesanan secara kontinyu, minimum seorang petani harus memiliki lahan seluas 5 ha. Untuk petani di Depok ini sebagai sentra belimbing Dewi, hal ini jelas-jelas tidak mungkin. Satu upaya lain pernah saya lakukan yaitu dengan menyewa lahan di luar kota. Hasilnya, belimbing sudah habis dipanen orang-orang tidak bertanggung jawab, sebelum pemiliknya memanen,” ujar pemilik kebun seluas 5.000 m² dengan 120 pohon belimbing Dewi ini.


Apa sih hebatnya belimbing Dewi? “Belimbing Dewi memiliki kandungan air lebih tinggi daripada belimbing-belimbing lain, sehingga ia lebih tahan lama. Dalam ruangan sejuk, ia mampu mempertahankan kesegarannya hingga satu minggu, sedangkan yang lain hanya dua hingga tiga hari. Kadar air yang tinggi ini pula yang membuatnya lebih berbobot (berat rata-rata 200 gr hingga 250 gr, bahkan dapat mencapai 500 gr/buah, red.), di samping itu rasanya pun lebih manis,” jelasnya. Selain itu, buah yang konon pohonnya mampu bertahan hidup 25 tahun hingga 30 tahun ini, bahkan dipercaya tidak pernah mati karena selalu tumbuh tunas dan akar baru, dapat dipanen untuk pertama kalinya ketika berumur dua tahun. “Satu kali panen sebanyak 20 kg sampai 30 kg,” katanya.

Tanaman keras yang termasuk paling cepat berbuah ini, baik ditanam di lahan yang terletak di ketinggian 300 m sampai 400 m di atas permukaan laut (sumber lain: 0 m sampai 500 m di atas permukaan laut,
red.), seperti Depok dan Cibinong. Dikembangbiakkan dengan okulasi atau menanam bijinya, belimbing Dewidapat dipanen hingga empat kali per tahun, dengan syarat memiliki sumber air yang cukup dalam perawatannya. Dalam setiap kali panen, Komar mampu mengumpulkan 12 ton hingga 14 ton, bahkan 20 ton bila cuacanya pas.


Harga di petani hanya Rp8 ribu/kg, sedangkan di swalayan mencapai Rp13 ribu/kg hingga Rp15 ribu/kg,” ucap Komar yang memasok belimbingnya ke toko buah-buahan di Depok dan Muara Karang, di samping Semarang, Yogyakarta, dan Bali melalui supplier. Ingin berbisnis belimbing Dewi? [russanti lubis/pengusaha]


ANALISA BISNIS BELIMBING DEWI (DALAM 1 TAHUN)


Bila Anda memiliki lahan seluas 10.000 m² atau 1 ha, maka Anda dapat menanam sekitar 105 pohon belimbing Dewi. Bahkan, Anda dapat menanam 2.000 pohon, jika jarak tanamnya 5 m². Harga rata-rata bibit pohon belimbing dewi Rp7.500,-. Setiap kali panen, dihasilkan sekitar 10 ton belimbing. Padahal, belimbing dapat dipanen tiga kali dalam setahun, adakalanya empat kali/tahun. Dengan demikian, setahun dapat dipanen 30 ton hingga 40 ton. Harga di petani per kilogramnya sekitar Rp8.000,-. Untuk lebih jelasnya, berikut analisa bisnisnya:

A. Total biaya produksi Rp 3.000.000,-/tahun
(untuk membeli bibit pohon belimbing Dewi, pupuk, pestisida,
dan biaya tenaga kerja)
B. Total penjualan (30.000 kg @ Rp8.000,-) Rp 240.000.000,-/tahun
__________________________-
C. Laba kotor Rp 237.000.000,-/tahun.

NB. Semakin luas tanah, kebutuhan akan pupuk dan pestisida semakin dapat dihemat baik biaya maupun tenaga. Karena, penyemprotan hama dan pemupukan dapat dilakukan bersamaan, tanpa efek samping pada pohonnya. Di samping itu, dalam pemupukan ia juga dibantu pupuk kandang dan pupuk lain yang dihasilkan oleh daun-daunnya yang mudah rontok.

Belasan Juta dari Bengkel tanpa Plang Nama

Jangan sepelekan penghasilan bengkel rumahan yang seringkali tanpa papan nama. Seorang mantan pereli, Bintang Adi Kusuma bisa menangguk belasan juta dari bengkelnya.


Di komplek Bumi Harapan Permai (BHP) di bilangan Duku Jakarta Timur terdapat bengkel “tanpa plang” dan di kelola secara sederhana. Meski dibuka di lingkungan yang sepi, toh, setiap hari ada saja satu-dua mobil yang menunggu giliran diperbaiki.


Bukan bisnis yang besar memang, namun sebagai sebuah usaha, bengkel “tanpa plang” atau sebut saja bengkel rumahan ini cukup produktif menjadi sumber pemasukan yang juga tidak bisa dibilang kecil. Setidaknya Bintang Adi Kusuma pemilik bengkel rumahan ini ia mengaku setiap hari sekurangnya dua mobil parkir di halaman rumahnya yang ia fungsikan sebagai bengkel, sehingga hasilnya tidak kurang dari Rp 15 juta.

Meskipun tidak membuka bengkel secara terang-terangan, Bintang juga tidak melakukan promosi sedikit pun untuk menjaring pelanggan. Ia hanya mengandalkan word of mouth (buah bibir) dari para relasi yang mengaku puas dengan hasil kerjanya. Awalnya, pelanggan yang datang adalah para kenalannya sewaktu masih aktif di dunia reli. Namun seiring waktu pelanggannya berkembang, tidak hanya teman-temannya mantan pereli saja yang mempercayakan mobilnya di bengkel rumahan Bintang namun pelanggan baru pun berdatangan.” Kalau dulu hanya kerabat saja yang mereparasi mobil di sini, sekarang justru banyak pelanggan baru,” ungkap Bintang.

Menurut Bintang, membuka bengkel rumahan banyak keuntungannya. Pertama. tidak perlu menyiapkan dana untuk sewa tempat yang tentu bisa mencapai biaya puluhan juta. Yang kedua, bengkel tak perlu diberi aksesoris seperti
billboard, etalase dan display suku cadang.


“Membuka bengkel di rumah modalnya sangat minim,dan
nggak repot. Beda jika membuka bengkel umum (konvensional), modalnya bisa untuk keperluan lain seperti memberi tools set dan menggaji teknisi,” kiat Bintang.


Selain itu, biaya operasional perbulan bengkel rumahan juga kecil. Bintang mengaku pengeluaran belanja bengkelnya sebulan tak lebih dari Rp 5 juta. Rinciannya Rp 3,5 juta untuk gaji 3 orang karyawan. Listrik Rp 400 ribu. Air PAM Rp 200 ribu. Sisanya untuk membeli kebutuhan tambahan seperti, minyak rem, minyak tanah, gemuk dan lem. keseluruhanya berkisar Rp 200 ribu.

Untuk modal awal yang diperlukannya adalah perkakas standar. Bintang membeli sebuah kompresor seharga Rp 3,5 juta, toolset Dowidat ( Buatan Jerman) Rp 27 juta, 2 buah bor Rp 2 juta, 2 gerinda Rp 1,1 juta. Lainnya bing, dongkrak dan tracker gear box Rp 2,5 juta. “Jadi investasi keseluruhan untuk peralatan nilainya sekitar Rp 48 juta,” terang Bintang.

Namun pengeluaran itu pun sejatinya bisa dikurangi. Kiatnya membeli peralatan yang berasal dari Jepang atau Taiwan. “Harganya bisa separuh di bawah yang buatan Jerman. Namun lebih baik membeli toolset yang baik kualitasnya.sebab secara jangka panjang akan lebih menguntungkan karena lebih awet,” terang pria kelahiran 1956 ini.


Lalu bagaimana dengan strategi usahanya? Meskipun tidak membuka bengkel secara terang-terangan untuk menjaring pelanggan, Bintang hanya mengandalkan relasi dan informasi dari mulut ke mulut. Kebetulan Bintang yang seorang mantan superviser mekanik reli tim Humpus memiliki banyak teman yang mengenal keahliannya dalam memperbaiki kendaraan.


“Bengkel ini sebenarnya usaha yang kebetulan. Saat saya berhenti dari reli tim Humpus, saya ingin istirahat, tapi teman saya
nitip mobil ke saya, lama–lama banyak yang ikut nitip, ya akhirnya keterusan sampai sekarang,” tukas Bintang yang juga mantan pereli yang tergabung di Club Speed Driver di dekade 80-an ini.

Salah satu promosi yang dapat menarik pelanggan, yang dilakukan Bintang adalah, memberikan pelayanan yang ekstra kepada para pemilik mobil yang mempercayakan perbaikan di bengkelnya. Menurut Bintang banyak cara yang bisa dilakukan. Seperti memberi informasi yang menyeluruh mengenai kondisi mobil yang sedang diperbaiki.memberikan masukan kepada pemilik mobil mengenai apa saja yang perlu di perbaiki dan berbagai solusinya. Dengan demikian menurut Bintang pelanggan akan merasa puas dan bisa mempertimbangkan sendiri penanganan apa yang ia butuhkan terhadap mobilnya yang tentunya disesuaikan dengan kondisi keuangan pelanggan.


Hal kedua yang diperhatikan Bintang adalah masalah kebersihan bengkel. Menurutnya selama ini orang salah beranggapan bahwa bengkel yang kotor adalah lumrah. Padahal kualitas pekerjaan perbaikan tidak bisa dipisahkan dari unsur kebersihan tempat kerja dan pekerja bengkelnya itu sendiri. Contoh kecil, di bengkelnya, Bintang ‘mengharamkan’ kepada ketiga karyawannya untuk melangkahi pekerjaannya sebab bisa jadi pasir yang jatuh dari sepatu masuk kedalam mesin dan akan berpengaruh terhadap kerja mesin.


Lainnya, pemilik bengkel harus terbuka dan menjaga kepercayaan pelanggan. Untuk usaha bengkel rumahan, menurutnya, kepercayaan adalah modal penting. Sebab dengan kepercayaan bengkelnya akan semakin dikenal luas.” Jangan memikirkan untuk jangka pendek, kalau pelanggan sudah percaya biar jauh, dia akan tetap mempercayakan mobilnya kepada bengkel kita,” ujar Bintang.


Namun namanya juga bengkel rumahan tidak setiap mobil yang masuk ke bengkel bisa ditangani, disebabkan lahan parkir yang tidak begitu luas. Di bengkelnya Bintang hanya menampung maksimal 5 unit mobil, 3 di dalam garasinya dan 2 di luar pagar. ” Kalau lebih dari itu kita tidak enak sama tetangga, namanya juga bengkel rumahan,” selorohnya Untuk masalah Biaya perbaikan, Bintang mematok ongkos pengerjaan berdasarkan waktu dan tingkat kesulitan perbaikan. [fitra iskandar/pengusaha]


Tips Membuka Bengkel Rumahan

1. Terbuka dan Jujur terhadap pelanggan mengenai waktu pengerjaan dan biaya
2. Memberikan Informasi yang menyeluruh kepada Pelanggan mengenai kondisi mobil
3. Menjaga Kebersihan tempat kerja dan mobil pelanggan saat bekerja


ANALISA BISNIS BENGKEL RUMAHAN

PERALATAN

  1. Toolsets merek Dowidat Rp. 27.000.000,-

  2. Bor duduk + bor tangan Rp. 1.900.000,-

  3. Gerinda potong + asah Rp. 1.100.000,-

  4. Bing Rp. 450.000,-

  5. Dongkrak buaya + hidrolik Rp. 600.000,-

  6. Tracker set gear box Rp. 1.500.000,-

TOTAL Rp. 32.550.000,-


OPERSIONAL BULANAN

  1. Gaji 3 orang karyawan Rp. 3.000.000,-

  2. Listrik Rp. 400.000,-

  3. Air Rp. 200.000,-

  4. Minyak tanah Rp. 100.000,-

  5. 3 kaleng Gemuk Rp. 75.000,-

  6. 5 botol minyak rem Rp. 30.000,-

  7. Sampo mobil dan kain lap Rp. 50.000,-

TOTAL Rp 3.815.000,-


PEMASUKAN Rp. 15.000.000,-
LABA BERSIH Rp. 15.000.000 – Rp 3.815.000 = Rp 11.185.000

Jumat, 20 Juli 2007

Ban dan Sparepart RC Dari Cibarusah

Lewat tangan dingin Asep, kini pehobi radio control bisa menikmati aksesoris dengan harga kompetitif. Produk Pro Champ nya kini telah diekspor ke-23 negara.

Radio control (RC) sebagai wahana mainan bergengsi bagi kalangan menengah ke atas kini semakin populer saja. Tidak hanya di Jakarta, mainan miniature mobil, pesawat hingga kapal ini sudah menjalar ke berbagai kota seperti : Semarang, Bandung, Medan, Denpasar, Solo, Jogyakarta, Surabaya, Batam, Cirebon, Makassar dan lainnya. Para pehobi jenis yang satu ini pun tidak segan-segan merogoh kocek hingga puluhan juta rupiah sebelum ikut bermain atau berpacu di arena kejuaraan. Pasalnya, meskipun yang di pakai bukanlah mobil atau kendaraan sungguhan, semua mafhum harganya cukup mahal karena hamper seluruh produknya dari mancanegara. Biaya perawatannya juga bisa dibilang tidak sedikit.

Lantaran masih banyaknya produk impor ini, membuat Asep Tomy T, Manager Engineering and Quality Control Division PT Sanoh--perusahaan komponen otomotif asal Jepang yang khusus memproduksi pipa karet rem,
power steering--gerah. Dia melihat banyak sekali peluang yang bisa digarap dibalik permainan hobi itu. Salah satunya, yakni membuat ban mobil RC, komponen plastic, berikut velg serta aksesoris lainnya. “Sejak menerjuni hobi RC sekitar 4 tahun lalu, hampir rata-rata pehobi RC sebulan sekali harus ganti ban. Padahal asal tahu, satu set ban berikut pelek impor seperti Proline. Bow Tie harganya di atas Rp 500 ribu,” tuturnya.


Dari pengalaman kurang nyaman itu membawa Kang Asep--begitu sapaan akrabnya—mencoba membuatnya sendiri. Pengalamannya selama sepuluh tahun bergelut dengan karet, adalah modal yang sangat berharga dalam menekuni bisnis barunya. ‘Awalnya saya coba menganalisa sampai akhirnya saya
familiar dengan jenis bahan karet untuk ban RC. Setelah saya mulai membuatnya hingga keluar produk pertama,” tuturnya.

Proses trial ini berlangsung hampir tujuh bulan dengan biaya tak kurang dari Rp 100 juta. Menurut Asep, karet agak sulit tidak seperti plastik dalam proses pencampurannya. Selain uji coba di laboratorium, dia juga langsung uji coba produk tersebut di lapangan. “Saya sampai menghabiskan tiga mesin untuk uji coba tersebut,” kenangnya.

Beberapa teman dia, sesama pehobi RC juga disuruh untuk memakai produknya. Dalam setiap kesempatan, dia juga berpromosi kepada sesam pehobi RC mancanegara yang kebetulan sedang bermain di Indonesia. Produk yang belum diberi label itu, ternyata cocok dengan kondisi track RC baik di Eropa, AS, Jepang, Thailand. Mereka memuji produk ban buatannya. Akhirnya, setelah merasa yakin dengan kualitas produk tersebut, Asep memberi brand produk bannya itu Pro Champ yang merupakan akronim dari Profesional Champion.

Menurut Kang Asep, ada peristiwa yang menarik sejak ban yang belum diberi nama itu go internasional, meski masih dalam rangka promosi gratis. Salah satu produsen aksesoris terkenal mancanegara meniru produknya. Dan, celakanya, produk tersebut lebih dulu beredar di pasar domestik. Namun, dia tak khawatir dengan produk tiruan tersebut. Sebab, kualitasnya berbeda. Motif ban atau tekstur memang bisa dijiplak. Namun, hasilnya pasti tidak bakalan sama apabila formula materialnya berbeda. “Yang tahu formulanya
kan saya. Terus terang produk Pro Champ tidak bisa mengkilap seperti produk kompetitor, sebab kalau mengkilap tidak ada magnetnya,” imbuhnya. Inilah perbedaan Pro Champ dengan kompetitor.

Sebelum berbisnis
sprare part RC, Asep telah menekuni bisnis plastik yakni boks kain sarung yang akan diekspor atau dipasarkan di dalam negeri. Hampir seluruh produsen sarung di Tanah Air, mulai dari Bandung, Pekalongan hingga luar Jawa adalah konsumennya. Hanya, produksi boks tersebut terbatas, mengingat ada jeda yang cukup panjang antara produk yang dijual dengan pesanan. “Kadangkala pesanan datang dalam jumlah besar. Lalu vacuum selama 4 bulan. Baru menjelang Lebaran datang pesanan lagi. Begitu seterusnya,” katanya.


Model ban yang pertama keluar dinamai Astom (Asep Tomy), tidak lain kepanjangan dari namanya sendiri. Seterusnya menyusul model-model yang lain berikut aksesorisnya meliputi
velg, spoiler (sayap belakang), clutch( kanvas kopling), seal shock absorber, seal manifold—karet pelindung antara mesin dan knalpot, sehingga totalnya mencapai 20 item produk. Semua produk tersebut bermerek Pro Champ.


Khusus untuk ban, Kang Asep sengaja membuat 3 varian yakni
soft, medium, hard dan 2 buah varian medium dan hard untuk velg, tujuannya tidak lain supaya menjangkau semua karakter sirkuit. “Untuk yang ahli saya keluarkan Pro Champ World yang dapat membuat mobil RC lebih agresif. Tetapi jika terlalu agresif, bisa pakai ke DiggerTF. Bila ternyata masih liar pemain bisa pakai Astom. Saya yakin mobil pasti diam. Sedangkan Pro Lime untuk track basah,” paparnya tentang beberapa tipe ban produknya.

PRO CHAMP MELUNCURKAN 10 ITEM PRODUK

Semula, Asep mengaku pada awalnya merasa belum terlalu yakin terhadap animo pembeli, mengingat pehobi RC disini yang cenderung brand minded. Pada waktu itu pria 37 itu malah belum berani mencantumkan label ‘Made in Indonesia’ pada ciptaannya tersebut. Launching produk pertama pada bulan Maret 2006 lalu dengan membagi-bagikan sample gratis kepada peserta dilakukan di Bandung bukan di Jakarta. Maksudnya agar citranya tidak terlanjur menyebar luas apabila masih terdapat kekurangan.


Ternyata, seperti diceritakan, respons yang diperoleh cukup menggembirakan. Sebelum menentukan besar jumlah produksi Asep mengaku melakukan semacam
intelijen marketing, di beberapa kejuaraan RC. Siapa yang memaki produk Pro Champ. Berapa produk Pro Champ yang menang dan sebagainya. Sementara di pemasaran ia juga tidak segan-segan memberikan sample produk gratis kepada banyak relasi diluar negeri dan mengharap kesediaan mereka sebagai agen distributor. Selain sudah menyebar di seluruh hobby shop lokal saat ini agen penjualan Pro Champ sudah terdapat di negara-negara seperti AS, Afrika Selatan, Jepang, Singapura, Malaysia, Thailand, maupun Philipina. Pro Champ kini telah beredar di 23 negara di dunia. Sekarang, Asep tengah memenuhi permintaan produk ban RC dari sebuah perusahaan di Australia. “Material dari saya, desain dan merek milik mereka. Saat ini tengah proses penandatanganan MOU,” akunya.

Selama kurang lebih setahun, dalam sebulan Asep rata-rata mampu memproduksi 300-400 set (1 set @ 4
pieces) ban. Ban khusus untuk mobil buggy beserta pelek dilempar dengan harga Rp 300 ribu untuk tipe Astom. Harga ini sedikit bervariasi. Namun lebih murah ketimbang ban RC impor yang Rp 400 ribu-an. Untuk jenis Truggy yang baru akan di-launching misalnya, direncanakan harga ritelnya sekitar Rp 400- ribuan.


Saat ini, penjualan yang paling meledak adalah
seal atau karet manifold. Begitu keluar di pasaran kini sudah terjual sekitar 15.000 pcs atau 7.500 set dengan harga Rp 25 ribu. Maka dengan total investasi sekitar Rp 200 juta dan rata-rata omset penjualan mencapai Rp 80-90 juta per bulan, Asep mengaku telah balik modal. “Mungkin sudah lebih ya. Sedangkan keuntungannya saya investasikan lagi,” kilahnya.


Kepada mitra bisnisnya, khususnya toko hobi (hobby shop) RC yang menjadi distributor Pro Champ Asep menerapkan sistem jual putus ketimbang konsinyasi. Sedangkan untuk pengiriman ke luar negeri dia mensyaratkan minimal
order sebanyak 50 set dengan syarat tambahan tidak boleh pilih-pilih item produk. Artinya, kuantitas berbeda tidak masalah tetapi semua item harus ada.

Sampai saat sekarang Asep masih memanfaatkan jasa orang kedua untuk melakukan produksi atau semacam
makloon. Dia optimistis bahwa prospek usahanya akan cerah. Sekarang dia tengah membangun workshop sendiri di dekat rumahnya, di Kawasan Cibarusah, Jabar. Rencananya, selain toko, disitu juga disiapkan arena bermain RC elektrik dan mesin, mulai dari mobil hingga helikopter. Bangunan tersebut tengah dipersiapkan dengan dana lebih dari Rp 1 miliar. Kelak, dengan selesainya tempat tersebut dia ingin menerapkan konsep one stop shopping di bisnis RC. “Yang jelas dengan keluarnya Pro Champ, pehobi bisa menyalurkan kesenangannya dengan harga yang murah,” ujarnya sedikit bangga.


Asep kini senang karena dia bisa menyalurkan hobi RC nya lewat bisnis yang kini tengah mekar. Kini, dia tak perlu lagi merogoh kocek hingga jutaan rupiah untuk hobi yang satu ini. Dan, satu lagi pehobi RC di Tanah Air pun boleh senang, karena
sparepart RC bisa didapat dari merek lokal dan sudah pasti dengan harga lokal pula.

MULAI DARI TUTUP BOTOL
Asep memang dilahirkan dari keluarga pebisnis. Dua tahun lalu, kendati masih sebagai professional, dia memulai bisnis pengadaan tutup botol air minum dalam kemasan (AMDK) di Bandung. “Saya melihat peluang yang cukup besar dengan memproduksi tutup botol tersebut,” katanya. Ketrampilannya dan pengetahuannya dalam mencampur plastik, sangat mendukung bisnis ini. Banyak produsen AMDK di Bandung hingga sekarang masih mengorder tutup minuman buatannya.

Tak lama kemudian, setelah sukses di bisnis tutup botol, Asep diversifikasi ke cover sarung—kotak khusus sarung tenun--untuk ekspor. Bungkus sarung yang terbuat dari plastik itu banyak dipesan oleh beberapa produsen sarung dari Pekalongan, Bandung dan sekitarnya. Bahkan, tambah dia, produk cover ini juga dipesan oleh pabrik sarung di Malaysia. Asep mampu memproduksi rata-rata 150 ribu
pieces cover plastic per bulannya. Dengan harga rata-rata Rp 13 ribu, omset mencapai lebih dari Rp 200 juta-an/bulan.

Sukses di bisnis ini tak menyurutkan langkah Asep untuk terus berkreasi. Hobi main
radio control(RC) ternyata membawa berkah tersendiri. Dia melihat peluang, yakni dengan memproduksi aksesoris RC. Keahliannya di bidang plastik dan pengetahuannya di bidang karet, ternyata mampu menghasilkan produk local yang tidak kalah dengan produk impor. Bahkan, produknya kini beredar di banyak Negara dan dipakai oleh pehobi RC kelas dunia. [wiyono/wk]

Baba Rafi, Sukses Besar Pewaralaba Lokal

Hanya bermodal sebuah gerobak, Kebab Baba Rafi tumbuh fenomenal. Kini 140 gerainya telah tersebar di 25 kota di Indonesia.


Dalam dunia bisnis waralaba, bisnis makanan dan minuman terasa mendominasi. Semua mafhum bisnis ini boleh dibilang kebal krisis ekonomi karena menyangkut salah satu kebutuhan pokok. Alasan lainnya barangkali karena kemudahan yang dimiliki serta perputaran modalnya terhitung cepat. Tidak jarang, asalkan disertai pengelolaan yang bagus usaha di bidang kebutuhan perut mampu berkembang dalam waktu relatif cepat. Baba Rafi merupakan salah satu contoh sukses, setidaknya hingga saat ini.

Hendy Setiono mengawali usaha tahun 2003 di Surabaya. Modalnya hanya Rp 10 juta atau sebuah gerobak burger. Kini bisnisnya berkembang pesat dengan menu makanan utama kebab serta santapan ala koboi (burger serta hotdog). Jumlah cabangnya setiap tahun terus bertambah. Terakhir, terdapat 140
outlet tersebar di 25 kota, antara lain Batam, Bali, Bandung, Banjarmasin, Malang, Gresik, Jember, Kediri, Lampung, Padang, Malang, Makasar, Medan, Pasuruan, Pekan Baru, Karawang, Surabaya, Sukabumi, Semarang, Sidoarjo, Tasikmalaya, Jogjakarta, dan Jakarta. “Tahun 2007 rencanaya go to Jakarta dengan target membuka 80 gerai khusus di Jakarta. Sekarang sudah terealisasi 25 buah,” ungkap Hendy.

Baba Rafi mampu berkembang pesat, karena selama ini Hendy selalu mempertahankan kualitas, baik menjaga standar mutu, kebersihan,
value produk. “Oleh karena itu dibentuk divisi Quality Control dan Maintenance,” ujarnya.Peraih berbagai penghargaan, di antaranya sebagai salah satu Entreprise 50 (The Hottest Entrepreneur 2006) versi Swa, Asia's Best Entrepreneur Under 25 versi BusinessWeek, The Indonesian Small Medium Business Entrepreneur Award (ISMBEA 2006), juga termasuk di antara 10 tokoh pilihan 2006 versi Tempo ini juga berusaha memperkuat brand image khususnya melalui berbagai media above the line serta membuat diferensiasi dengan memperbarui sebutan menu-menu, seperti Winner Kebab, Hotdog Jumbo, Kebab Picok (pisang dan coklat). Tetapi harganya tetap dapat terjangkau oleh kocek mahasiswa sekalipun, yaitu berkisar Rp 6.000,00-Rp 9.000,00.

Di samping itu bapak dua orang anak ini juga tetap memakai strategi awal yang cukup ampuh, yakni memilih tempat di tengah-tengah keramaian dan menggunakan warna mencolok dan berwarna-warni. “Agar terkesan familiar dan begitu melihat, orang menjadi ingat terus,” begitu kilahnya.


Diferensiasi lain yang dilakukan Hendy adalah cara pengolahan. Dia mengolah daging dengan cara diasap, bukannya digoreng. Daging berukuran besar diasap, baru dipotong dan diiris tipis, dengan begitu aroma asap menjadi khas. Beberapa jenis bumbu juga disesuaikan sesuai dengan selera lokal. Di negeri asalnya, irisan daging untuk burger atau kebab tidak terlalu tebal dengan aroma bumbu yang kuat.


Sebaliknya, menurutnya konsumen lokal lebih memilih tekstur daging lebih berasa dengan bumbu dan saos tidak terlalu banyak namun cenderung manis.


Sebagai bisnis yang diwaralabakan Hendy menyediakan beberapa tipe penawaran. Terdapat paket gerobak untuk
outdoor, franchisenya dijual dengan harga Rp 50 juta. Tipe Booth dan Dine In, keduanya juga dengan konsep outdoor ditawarkan seharga Rp 70 juta dan Rp 100 juta, sementara konsep indoor outlet harganya Rp 90 juta. “Model cafĂ©, franchise fee sebesar Rp 80 juta dan ditambah initial investment sekitar Rp 100 juta,” imbuh Presiden Direktur PT Baba Rafi Indonesia tersebut.

Calon
franchisee tidak usah khawatir, sebab dukungan yang diperoleh meliputi hampir semua aspek, mulai dari studi kelayakan, lay out restoran, standar pelayanan, pelatihan, jaminan bahan baku, paket promosi, termasuk quality control, maintenance, manual book, disertai software keuangan. Dalam satu paket sudah tersedia satu unit counter, alat burner kebab, dan paket perlengkapan counter lengkap. Disebutkan, tingkat keberhasilan cabang mencapai 99% atau resiko kegagalan usaha sangatlah kecil. “Omset yang diraih masing-masing gerai Rp 350 ribu-Rp 1 juta per hari, sehingga balik modal investasi diperkirakan tercapai dalam 1-1,5 tahun,” tandasnya. [wiyono/wk]

Atilla Setia Mendampingi Pengantin

Pada dasarnya, setiap orang dapat menjalankan bisnis yang sama. Tapi, dalam perjalanannya, tak semuanya mampu bertahan dari gempuran berbagai masalah yang muncul. Ada yang langsung ngambek dan akhirnya putus di tengah jalan. Ada pula yang banting setir dengan mengikuti tren atau selera pasar, sehingga menghilangkan ciri khas produknya. Faktanya, kiat ini tidak selalu jitu, malah membuat bisnis tidak fokus dan konsumen setia berpaling karena bi-ngung tidak lagi mendapatkan produk favorit mereka.

“Mungkin, inilah yang membedakan saya yang sampai sekarang masih eksis di bisnis kotak dan boks hantaran perkawinan dengan para pebisnis produk sejenis, meski sudah hampir 20 tahun berkutat di sini. Saya selalu fokus pada produk saya, walau kondisinya sedang naik turun,” kata Atilla, produsen kotak dan boks hantaran perkawinan berlabel Atilla.

Saat sedang sepi order, ia melanjutkan, jangan terpengaruh tren. “Tapi, galilah ide dan kreativitas sehingga muncul semangat dan optimisme lagi. Selain itu, juga memperbaiki pemasaran. Di akhir tahun menghubungi jaringan dan menawarkan produk dengan harga produsen. Pokoknya, jemput bola dan selalu berkreasi,” jelasnya.

Ketika sedang ramai order, terimalah semua pesanan dan berusaha keras memenuhi semua pesanan itu. “Kalau perlu, kaki dijadikan kepala, kepala dijadikan kaki. Ingat! Kesempatan emas tidak pernah datang dua kali. Jika dibiarkan, ia akan berlalu begitu saja, apalagi persaingan di bidang ini ketat sekali,” imbuhnya.

Bisnis pembuatan kotak dan boks hantaran perkawinan, ia menambahkan, mempunyai prospek yang sangat bagus. Sebab, pasarnya sudah jelas dan banyak orang (dari berbagai kalangan) membutuhkan produk semacam ini. “Bukankah selama manusia itu masih hidup, maka selama itu pula perkawinan akan selalu ada. Di sisi lain, produk ini juga dapat beralih fungsi sebagai tempat apa pun, ketika fungsi utamanya sudah berakhir. Jadi, di sini tidak dikenal musim panen atau musim paceklik,” katanya.

Dengan demikian, harap maklum bila persaingan di bisnis ini dikatakan sangat ketat. Bagaimana kiat bertahan? “Saya tidak pernah memusingkan masalah persaingan. Karena, setiap konsumen mempunyai selera yang berbeda satu sama lain. Saya tidak bisa menggiring mereka agar selalu menyukai produk saya. Yang bisa saya lakukan hanya merengkuh jaringan seluas mungkin, dengan melayani konsumen sebaik mungkin dan membuatkan barang sesuai dengan keinginan mereka, dengan sesedikit mungkin masukan,” tambahnya.

Kebetulan kotak dan boks hantaran perkawinan Atilla yang berkonsep etnik ini, digemari konsumen. Produk yang ditawarkan dengan harga Rp25 ribu sampai Rp165 ribu dengan ukuran 25 cm x 25 cm hingga 50 cm x 60 cm ini, memang didesain dengan warna khas yaitu cokelat kusam dengan hiasan bunga kering dan aneka hiasan lain. Tapi, tidak berarti bisnis yang dibangun dengan modal awal Rp375 ribu ini, menolak pesanan dengan warna-warna ngejreng atau dari pelaku bisnis sejenis yang lalu menjual lagi produk tersebut, dengan mengganti labelnya atau telak-telak mengklaimnya sebagai produk buatan mereka. “Bagi Atilla, itu nggak masalah, sebab sudah beli putus,” ujarnya.

Mengikuti selera pasar, ia melanjutkan, tidak berarti pula strategi yang salah. Selain terus memproduksi boks dan kotak hantaran dalam aneka bentuk, ukuran, bahan, desain, warna, model, dan hiasan, Atilla juga terus membuat model kotak dan boks hantaran yang sama, selama konsumen masih menggemarinya. “Kadangkala gonta-ganti model atau terlalu cepat ganti model, malah membingungkan konsumen,” kilahnya.

Di samping itu, Atilla yang menjalankan bisnis ini dari bawah banget selalu siap dengan berbagai strategi, bila nantinya menghadapi masalah. “Jam terbang (baca: pengalaman) itu penting. Orang harus melewati satu demi satu jam terbang untuk membentuk mental. Mental yang kuat itu penting dalam bisnis apa pun, bukan cuma modal, keterampilan, dan jaringan,” ucapnya.

Saat lebaran, misalnya, itulah timingnya. Jika momen ini tidak dimanfaatkan, lewatlah sudah peluang itu. Sebab, Januari–Februari merupakan bulan-bulan yang sepi order. “Jadi, kalau pas banyak order, kami ambil kesempatan itu sehingga ketika mengalami sepi order, kami masih tetap dapat menjalankan bisnis ini. Karena, omset yang kami raup kala ramai order dapat kami jadikan modal untuk terus ‘berjalan’ di tahun berikutnya. Tapi, jangan diartikan ini aji mumpung, melainkan hanya memanfaatkan peluang tanpa menanggalkan kualitas produksi. Quality control tetap harus selalu dijaga untuk menghindari kekecewaan dan kemarahan pelanggan,” ujarnya.

Dalam home industry-nya yang seluas 500 m² di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, dalam sehari 15 karyawan Atilla mampu membuat minimal 40 boks dan kotak hantaran. Di samping itu, melalui dua gerainya, dalam kondisi sepi Atilla menjual 10 kotak dan boks hantaran per bulan dan sembilan buah/hari atau 50 buah/minggu saat ramai, serta menerima pesanan dari 5–6 pelanggan yang masing-masing memesan minimal sembilan kotak atau boks. “Omset saya per bulan Rp10 juta–Rp15 juta per bulan,” imbuhnya. Bisnis yang “basah”, bukan? [
russanti lubis/wk]

Anya Dwinov - Essii Laundry

Garansi & Omzet 100%

Banyaknya para designer membuat pakaian dari bermacam jenis bahan dan ‘agak’ mengesampingkan masalah perawatannya, tampaknya itu menjadi peluang bisnis bagi Anya Dwinov. Presenter cantik ini membuka usaha jasa laundry bernama Essii Laundry, di Kawasan Cikajang, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Berawal dari kebutuhannya terhadap jasa cuci-mencuci serta menjadi salah satu klien perusahaan
laundry, pemilik nama lengkap Anya Dwi Novita Pahlawanti pun memutuskan terjun langsung merintis usaha tersebut. “Saat itu ada saham yang dijual oleh salah satu pemegangnya karena alasan pindah ke luar kota maka tawaran itu diberikan ke saya” cerita Anya membuka pembicaraan.

PT. Essii International didirikan pada 24 Februari 2005 lalu, namun mulai beroperasi secara komersil sejak 5 September 2005. “Saya bergabung bulan April 2006. Jadi,
laundry ini sudah lama berjalan. Sejak saat itu pula menjadi awal untuk merubah seluruh signboard dan neon nox Essii Laundry,” jelas Anya bersemangat.

Sebagai perusahaan pendatang baru di bidang laundry and dry clean di Jakarta, Essii telah mempunyai jumlah pelanggan sebanyak 3.915 orang, terhitung Desember 2006. Apa rahasia dibalik kesuksesan usaha tersebut?. Salah satu yang diterapkan adalah menerima jenis-jenis pakaian yang dapat diproses antara lain stelan jas, celana, kemeja, mote atau payet, bahan suede and leather, wool, crayon, cotton, nylon, parasut. Essii pun menerima tas branded international, sepatu kulit, house hold, serta boneka. “Percayakan semua karena Essii can wash all kind of materials,” katanya berpromosi.


Tak hanya itu, Essii pun berani memberikan 100 persen
guarantee jika terjadi kerusakan pada barang apabila ada kesalahan pada proses pencucian . Bahkan tak tanggung-tanggung, penggantian tersebut melebihi jasa laundry pada umumnya, yang hanya mampu mengganti 10 kali lipat dari ongkos jasanya. ”Essii berkomitmen untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada para pelanggan dengan memprioritaskan keamanan dan kebersihan pakaian” kata perempuan kelahiran 10 November 1982 ini.

Lalu, berapa investasi yang dikeluarkan?.”Wah, itu rahasia perusahaan. Tetapi dengan ketekunan saya dan tim sukses (karyawan-
red), modal tersebut kembali dengan memuaskan” terang Anya. Kini Essii mampu mempekerjakan 40 karyawan dari semua outlet yang tersebar. “Ini merupakan keinginan saya untuk mempekerjakan orang lain sehingga mengurangi jumlah pengangguran dan membentuk lapangan pekerjaan baru”. Hal tersebut diperluas lagi dengan membuat sistem franchise. Mau bergabung? [fisamawati/wk]

Entrepreneur Daily

Franchises

E-Business

Sales and Marketing

Starting a Business